Jumat, Juni 14, 2019

Bagaimana suksesi pemerintahan Abbasiyah ?

A.    Suksesi Pemerintahan
            Pemerintahan daulah Abbasiyah dapat dibagi menjadi dua periode: masa awal imperium Abbasiyah (750-833) dan masa kemunduran Imperium Abassiyah (833-954). Khalifah Abbasiyah pertama, Abu al-Abbas ‘Abd Allah abn Muhammad al-Saffah, sang penumpah darah, dengan dukungan dari paman-pamannya berusaha membersihkan sisa-sisa kekuatan Bani Umayyah. Revolusi social dan politik ini dilakukan untu mereformasi Dinasti Umayyah agar sesuai dengan ajaran murni islam. Mereka menggulingkan kekuasaan Daulah Bani Umayyah yang dianggap korup, dekaden, otoriter dan sekuler. Pada masa awal kemunculan Daulah Abbasiyah, wilayah timur imperium, Khurasan, belum sepenuhnya dapat dikontrol pemerintah pusat tetapi masih dikuasai secara otonomi oleh Gubernur Abu Muslim. Ketika al-Saffah meninggal pada 134/571, pemerintahan Abbasiyah di bawah kendali adiknya, Abu Ja’far Abd. Alllah ibn Muhammad Mansur (709 -813) setelah dapat mengalahkan pamannya , Abd. Allah abn Ali, yang berusaha menjadi khalifah.
            Setelah mengalahkan pemberontakan dari kelompok Syi’ah, al-Mansur membawa pasukannya untuk meredan tiga ancaman utama terhadap kekuasaannya: dari penduduk Syria, bekas pusat kekuasaan Umayyah, yang masih belum mau menjadi bawahan pusat kekuasaan baru di Baghdad, dari Abu Muslim yang tidak mau membagi kekuasaannya dengan pemerintah pusat, dan dari kelompok Syi’ah serta orang-orang yuang kecewa dengan pemerintahan baru. Ketiga ancaman satu-persatu dapat dilumpuhkan dan dipadamkan sehingga kekuasaan Abbasiyah semakin kokoh dan luas. Masa al-Mansur ini dapat dikatakan sebagai tahun-tahun perjuangan dan konsilidasi kekuasaan Abbasiyah. Visi politik dan pendekatan pragmatis khalifah sangat berperan dalam menjaga stabilitas pemerintahan. Tulang punggung kekuataan Abbasiyah adalah keluarga besar Bani Abbas. Setelah dapat memperkokoh kekuasaan Abbasiyah, al-Mansur meninggal karena sakit dalam perjalanan haji kelima bersama rombongan keluarga dan pembesar Abbasiyah. Dia meninggal dalam usia 65 tahun setelah memerintah selama lebih dari dua puluh satu tahun. Pemerintah Abbasiyah kemudian dipegang oleh putranya, al-Mahdi, yang masih berumur tiga puluhan.
            Disbanding ayahnya yang lebih sekuler, al-Mahdi lebih popular karena lebih lunak pada lawan politiknya, lebih dermawan dan lebih berperan dalam membela islam. Khalifah yang bernama Abu ‘Abdullah Muhammad Abdullah ini sejak usia lima belas tahun telah ikut memimpin pasukan di medan peperangan. Sebelum menjadi khalifah, dia sudah mempunyai pengalaman politik yang cukup dan memiliki kontak dengan kebanyakan orang-orang kuat dan berpengaruh di Abbasiyah. Ketika dia memerintah, pemerintahan Abbasiyah mulai aman dan kekayaan Negara bertambah banyak. Di masa ini perubahan penting terjadi. Faksi politik Khurusan dan sekelompok militer mulai menjadi saingan keluarga keturunan Abbas. Selain itu, sebagian kalangan birokrasi seperti secretariat kerajaan mulai menjadi kelompok penekan. Kelompok lain yang mulai menguat adalah mawali atau orang-orang non-Arab berasal dari budak yang telah dimerdekakan.
            Sebelum meninngal, al-Mahdi telah mempersipakan dua anaknya, al-Hadi dan Harun al-Rasyid, untuk bergiliran menggantikan kekuasaannya. Mereka dilatih untuk ikut aktif mengurus jalannya pemerintahan dan sesekali memimpin pasukan di medan pertempuran. Alasan al-Mahdi mengangkat dua orang putra mahkota adalah agar kekuasaan Abbasiyah tetap ditangan keluarga keturuan al-Abbas. Jika salah seorang putra mahkota meninggal secara mendadal, masih terdapa satu lagi putra mahkota pengganti. Namun, kebijakan mengangkat dua putra mahkota inijuga menjadi sumber kericuhan dan persaingan berebut kekuasaan yang tidak jarang menyebabkan pertumpahan darah dalam perang saudara. Setelah al-Mahdi meninggal, putra mahkota pertama, al-Hadi naik tahta kerajaan.
            Berbeda dengan ayah yang pemaaf terhadap lawan politiknya, al-Hadi mengendalikan kerajaan dengan keras. Ini sesuai dengan karakternya yang kasar dan mudah tersinggung. Tidak seperti ayahnya, al-Hadi kurang menhargai orang-orang non-Arab dan kelompok Syiah yang dulu menjadi tulang punggung kekuatan revolusi Abbasiyah. Ia melanggar keputusan ayahnya yang mengangkat saudarannya, Harun untuk menggantikan tahtanya setelah meninggal mengangkat anaknya sendiri, Ja’far, sebagai putra mahkota. Namun rencana ini tidak sepenuhnya berjalan. Ketika tiba-tiba ia meniggal, saudaranya Harun al-Rasyid dibaiat oleh pendukungnya. Setelah kuat,  Harun al-Rasyid memaksa Ja’far untuk menanggalkan kekuasaannya.



DAFTAR PUSTAKA
Sodiqin, Ali dkk. 2003. Sejarah Peradapan Islam. Yogyakarta: Lesfi.
Hitti, Philip K. 1970. Dunia Arab. Bandung: Vorkink Van Hoevev.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nasionalisme Arab