A. Suksesi
Pemerintahan
Pemerintahan
daulah Abbasiyah dapat dibagi menjadi dua periode: masa awal imperium Abbasiyah
(750-833) dan masa kemunduran Imperium Abassiyah (833-954). Khalifah Abbasiyah
pertama, Abu al-Abbas ‘Abd Allah abn Muhammad al-Saffah, sang penumpah darah,
dengan dukungan dari paman-pamannya berusaha membersihkan sisa-sisa kekuatan
Bani Umayyah. Revolusi social dan politik ini dilakukan untu mereformasi
Dinasti Umayyah agar sesuai dengan ajaran murni islam. Mereka menggulingkan
kekuasaan Daulah Bani Umayyah yang dianggap korup, dekaden, otoriter dan
sekuler. Pada masa awal kemunculan Daulah Abbasiyah, wilayah timur imperium,
Khurasan, belum sepenuhnya dapat dikontrol pemerintah pusat tetapi masih
dikuasai secara otonomi oleh Gubernur Abu Muslim. Ketika al-Saffah meninggal
pada 134/571, pemerintahan Abbasiyah di bawah kendali adiknya, Abu Ja’far Abd.
Alllah ibn Muhammad Mansur (709 -813) setelah dapat mengalahkan pamannya , Abd.
Allah abn Ali, yang berusaha menjadi khalifah.
Setelah
mengalahkan pemberontakan dari kelompok Syi’ah, al-Mansur membawa pasukannya
untuk meredan tiga ancaman utama terhadap kekuasaannya: dari penduduk Syria,
bekas pusat kekuasaan Umayyah, yang masih belum mau menjadi bawahan pusat
kekuasaan baru di Baghdad, dari Abu Muslim yang tidak mau membagi kekuasaannya
dengan pemerintah pusat, dan dari kelompok Syi’ah serta orang-orang yuang
kecewa dengan pemerintahan baru. Ketiga ancaman satu-persatu dapat dilumpuhkan
dan dipadamkan sehingga kekuasaan Abbasiyah semakin kokoh dan luas. Masa
al-Mansur ini dapat dikatakan sebagai tahun-tahun perjuangan dan konsilidasi
kekuasaan Abbasiyah. Visi politik dan pendekatan pragmatis khalifah sangat
berperan dalam menjaga stabilitas pemerintahan. Tulang punggung kekuataan
Abbasiyah adalah keluarga besar Bani Abbas. Setelah dapat memperkokoh kekuasaan
Abbasiyah, al-Mansur meninggal karena sakit dalam perjalanan haji kelima
bersama rombongan keluarga dan pembesar Abbasiyah. Dia meninggal dalam usia 65
tahun setelah memerintah selama lebih dari dua puluh satu tahun. Pemerintah
Abbasiyah kemudian dipegang oleh putranya, al-Mahdi, yang masih berumur tiga
puluhan.
Disbanding
ayahnya yang lebih sekuler, al-Mahdi lebih popular karena lebih lunak pada
lawan politiknya, lebih dermawan dan lebih berperan dalam membela islam.
Khalifah yang bernama Abu ‘Abdullah Muhammad Abdullah ini sejak usia lima belas
tahun telah ikut memimpin pasukan di medan peperangan. Sebelum menjadi
khalifah, dia sudah mempunyai pengalaman politik yang cukup dan memiliki kontak
dengan kebanyakan orang-orang kuat dan berpengaruh di Abbasiyah. Ketika dia
memerintah, pemerintahan Abbasiyah mulai aman dan kekayaan Negara bertambah
banyak. Di masa ini perubahan penting terjadi. Faksi politik Khurusan dan
sekelompok militer mulai menjadi saingan keluarga keturunan Abbas. Selain itu,
sebagian kalangan birokrasi seperti secretariat kerajaan mulai menjadi kelompok
penekan. Kelompok lain yang mulai menguat adalah mawali atau orang-orang
non-Arab berasal dari budak yang telah dimerdekakan.
Sebelum
meninngal, al-Mahdi telah mempersipakan dua anaknya, al-Hadi dan Harun
al-Rasyid, untuk bergiliran menggantikan kekuasaannya. Mereka dilatih untuk
ikut aktif mengurus jalannya pemerintahan dan sesekali memimpin pasukan di
medan pertempuran. Alasan al-Mahdi mengangkat dua orang putra mahkota adalah agar
kekuasaan Abbasiyah tetap ditangan keluarga keturuan al-Abbas. Jika salah
seorang putra mahkota meninggal secara mendadal, masih terdapa satu lagi putra
mahkota pengganti. Namun, kebijakan mengangkat dua putra mahkota inijuga
menjadi sumber kericuhan dan persaingan berebut kekuasaan yang tidak jarang
menyebabkan pertumpahan darah dalam perang saudara. Setelah al-Mahdi meninggal,
putra mahkota pertama, al-Hadi naik tahta kerajaan.
Berbeda
dengan ayah yang pemaaf terhadap lawan politiknya, al-Hadi mengendalikan
kerajaan dengan keras. Ini sesuai dengan karakternya yang kasar dan mudah
tersinggung. Tidak seperti ayahnya, al-Hadi kurang menhargai orang-orang
non-Arab dan kelompok Syiah yang dulu menjadi tulang punggung kekuatan revolusi
Abbasiyah. Ia melanggar keputusan ayahnya yang mengangkat saudarannya, Harun
untuk menggantikan tahtanya setelah meninggal mengangkat anaknya sendiri,
Ja’far, sebagai putra mahkota. Namun rencana ini tidak sepenuhnya berjalan.
Ketika tiba-tiba ia meniggal, saudaranya Harun al-Rasyid dibaiat oleh
pendukungnya. Setelah kuat, Harun
al-Rasyid memaksa Ja’far untuk menanggalkan kekuasaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Sodiqin, Ali
dkk. 2003. Sejarah Peradapan Islam.
Yogyakarta: Lesfi.
Hitti, Philip K.
1970. Dunia Arab. Bandung: Vorkink
Van Hoevev.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar