Bagaimana
perkembangan Indische Partij?
E.F.E. Douwes Dekker berpendapat
bahwa hanya melalui kesatuan aksi melawan koloni, bangsa Indonesia dapat
mengubah sistem yang berlaku, juga keadilan bagi sesame suku bangsa yang
merupakan keharusan dalam pemerintahan. Pada waktu itu terdapat Antitesis
antara penjajah dan terjajah, penguasa dan yang dikuasai. E.F.E. Douwes Dekker
berpendapat, setiap gerakan politik haruslah menjadikan kemerdekaan yang
merupakan tujuan akhir. Pendapatnya itu di salurkan melalui majalah Het
Tijdschrift dan surat kabar De Expres. E.F.E. Douwes Dekker juga banyak
berhubungan dengan para pelajar STOVIA di Jakarta, dan menjadi redaktur Bataviaasch
Nieuwsblad maka tidak mengherankan kalau E.F.E. Douwes Dekker banyak berkenalan
dan member kesempatan kepada penulis- penulis muda dalam surat kabar. Menurut
Suwardi Suryaningrat, meskipun pendiri Indische Partij adalah orang indo,
tetapi tidak mengenal supremasi indo atas bumi putera, bahkan menghendaki
hilangnya golongan indo dengan meleburkan diri dalam masyarakat bumi putera.
Perjuangan untuk menentang
perbedaan sosio-politik inilah yang menjadi dasar tindakan Suwardi Suryaningrat
dan selanjutnya mendirikan Taman Siswa (1922) dan menentang Undang- undang
Sekolah liar (1933), di sisi lain dr. Tjipto Mangoenkoesoemo meneruskan
perjuanagn nya yang radikal, walaupun di buang bersana E.F.E.Douwes Dekker ke
Belanda tahun 1913. Pada tahun 1926 di buang lagi ke belanda dan sebelumnya di
penjarakan dua tahun di bandung. Sebelum jepang masuk mereka di bebaskan dari
penjara dan pada tahun 1943 Suwardi Suryaningrat meninggal dunia. Jiwa dinamis
E.F.E. Douwes Dekker diawali ketika melakukan propaganda ke seluruh Jawa dari
tanggal 15 September sampai dengan 3 Oktober 1912. Perjalanan itu di pergunakan
untuk melakukan rapat- rapat dengan golongan elit lokal seperti di Yogyakarta,
Surakarta, Madiun, Surabaya, Semarang, Tegal, Pekalongan, dan Cirebon. E,F.E.
Douwes Dekker disambut hangat oleh pengurus Budi Utomo di Yogyakarta. Mereka di
ajak untuk mrmbangkitkan semangat golongan Indiers sebagai kekuatan politik
untuk menentang penjajah. Perjalanannya itu menghasilkan tanggapan baik dan
akhiryna di dirikan 30 cabang Indische Partij.
Konsep kebangsaan Hindia di
sebarluaskan oleh E.F.E. Douwes Dekker, karena berpendapat bahwa Hindia dalam
koloni Nederlandshe Indie harus di sadarkan dan di bebaskan dari belenggu
penjajah. Dari anggaran Indische Partij dapat di simpulkan bahwa tujuannya
adalah untuk membangun lapangan hidup dan menganjurkan kerja sama atas dasar
persamaan ketatanegaraan guna memajukan tanah air hindia belanda dan untuk
mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka. Hal ini berarti secara tidak
langsung Indische Partij menolak kehadiran orang belanda asli belanda sebagai
penguasa dan sekaligus melahirkan perasaan kebangsaan yang pertama karena
mengalami Indonesia sebagai tanah airnya. Oleh karena itu, Indische Partij
berdiri atas dasar nasionalisme yang menampung semua suku bangsa di Hindia
Belanda untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.
Walaupun usia Indische Partij
sangat pendek, tetapi semangat jiwa dari dr. Tjipto Mangkusumo dan Suwardi
Suryaningrat sangat besar berpengaruh bagi para pemimpin pergerakan waktu itu.
Terlebih lagi Indische Partij menunjukan garis politiknya secara jelas dan
tegas serta menginginkan agar rakyat Indonesia dapat merupakan satu kesatuan
penduduk yang multirasial, dan tujuannya dari partai ini adalah benar- benar
Revolusioner karena mau menobrak kenyataan politik rasial yang di lakukan oleh
pemerintah Kolonial. Tindakan ini terlihat nyata pada tahun 1913, pemerintah
belanda akan mengadakan upacara peringatan 100 tahun bebasnya negeri belanda
dari jajahan perancis( Napoleon), dengan cara memungut dana dari rakyat
Indonesia. Kecaman- kecaman yang semakin keras menentang pemerintah belanda
menyebabkan ketiga tokoh dari Indische Partij di tangkap tatun 1913 mereka di
asingkan ke Belanda. Namun tahun 1914 Tjipto Mangoenkoesoemo di kembalikan ke
Indonesia karena sakit, sedangkan Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker baru
di kembalikan ke Indonesia tahun 1919.
Douwes Dekker tetap terjun dalam
bidang politik, Suwardi Suryaningrat terjun di bidang pendidikan. Meskipun
Indische Partij tenggelam tetap memperjuangkan bangsa Indonesia. Telah lama
Cipto Mangunkusumo mempunyai cita-cita tentang wawasan kebangsaan yang luas dan
tegas. Secara nyata ketika ia masih sebagai anggota Budi Utomo, pada tanggal 9
September 1909 ia pernah mengusulkan agar Budi Utomo memperluas keanggotaannya,
membuka pintu untuk semua Hindia Putera; bagi semua yang lahir, hidup, dan mati
di tanah Hindia. Apa yang diusulkannya itu tegas. Sayang keinginannya itu harus
kandas, karena ditolak oleh Konggres yang nyaris mayoritas terdiri dari
golongan tua. Itulah sebabnya dalam Indische Partij apa yang dicita-citakan itu
memperoleh tempat penyalurannya.
Dengan masuknya kedua tokoh
nasionalis tersebut ke dalam tubuh Indische Partij yang baru berdiri itu, maka
aktivitas politiknya menjadi lebih tegas dan keras. Dengan tambahnya
tokoh-tokoh itu lahirlah “tiga serangkai” yang memiliki cara pandang dan arah
berfikir sehaluan. Pada waktu itu pula Cipto Mangunkusumo memperkenalkan
semboyan “Indie los van Holland”, Hindia lepas dari negeri Belanda. Itulah
tujuan yang sebearnya, di mana saja Cipto Mangunkusumo berbicara, itulah
kata-kata terakhir yang diucapkannya, yaitu Hindia lepas dari Nederland. Pada
waktu itu apa yang diucapkan Cipto Mangunkusumo tersebut merupakan kata yang
membuat telinga pemerintah kolonial panas.
2. Apa
tujuan pendirian Indische Partij?
Melalui karangan- karangan di dalam
Het Tijdschrift tujaun dari Indische Partij kemudian dilanjutkan didalam De
Express, propagandanya meliputi, Pelaksaan suatu program “ Hindia “ untuk
setiap gerakan politik yang sehat dengan tujuan menghapuskan perhubungan
kolonial, Menyadari golongan Indo dan penduduk bumi putera, bahwa masa depan
meraka terancam oleh bahaya yang sama yaitu bahaya Eksploitasi Kolonial.
Alat untuk melancarkan aksi-aksi perlawanan ialah dengan membentuk suatu
Partij: Indische Partij. “Tujuan Indische Partij ialah untuk membangunkan
patriotisme semua Indiers terhadap kepada tanah air, yang telah memberi
lapangan hidup kepada mereka, agar mereka mendapat dorongan untuk bekerjasama
atas dasar persamaan ketatanegaraan untuk memajukan tanah air “Hindia” dan
untuk mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka.
Pendiri Indische Partij yang
tinggal satu belum ditangkap itu, tetap terus berjuang membela rakyat. Baginya,
meskipun termasuk keturunan Belanda (Indo), namun dalam perjuangan merasa satu
dengan orang-orang kelahiran Hindia Belana asli. Dalam perjuangan untuk
kepentingan tanah air tidak ada perbedaan antar Indo maupun Pribumi.
Hal ini dapat dirasakan Indische
Partij pada saat mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal pada tanggal 4
Maret 1913, agar organisasi ini mendapat pengakuan sebagai badan hukum,
ternyata ditolak. Alasan penolakannya karena organisasi ini berdasarkan politik
dan mengancam hendak merusak keamanan umum. Walaupun sudah jelas kegiatan
Indische Partij mendapat pengawasan secara ketat, namun pendirinya, yaitu EFE.
Douwes Dekker tetap meneruskan perjuangannya. Dia berusaha menghadap kepada
Gubernur Jenderal dengan tujuan, ingin menjelaskan dan bersedia mengubah
pasal-pasal dan anggaran dasar Indische Partij, apabila dianggap membahayakan
pemerintah. Akan tetapi usaha EFE. Douwes Dekker ini sia-sia saja, karena pada
tanggal 11 Maret 1913 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peringatan kepada
Indische Partij dan organisasi ini tetap dinyatakan sebagai partai terlarang.
Pergerakaan Indische Partij,
setelah Suwardi Suryaningrat dan dr. Cipto Mangunkusumo di tangkap, maka Douwes
Dekker terus mengadakan pembelaannya. Di dalam makalah dan harian Indische
Partij, EFE. Douwes Dekker menulis pembelaan itu dengan judul (bahasa
Indonesianya) “Pahlawan kita Suwardi Suryaningrat dan Cipto Mangunkusumo”.
Setelah tulisan tersebut diketahui oleh pihak pemerintah kolonial Belanda, maka
EFE. Douwes Dekker ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun yang
sama, yaitu tahun 1913. Jadi, umur Indische Partij sangat singkat, kurang lebih
hanya satu tahun saja. Namun apa yang dicita-citakan Indische Partij, telah
tertanam pada hati sanubari seluruh rakyat Indonesia.
Sebenarnya ketiga pemimpin Indische
Partij tersebut ditawari dibuang didalam negeri saja. Yaitu Douwes Dekker ke
Timor (Kupang), dr. Cipto Mangunkusumo ke Banda, dan Suwardi Suryaningrat ke
Bangka. Namun ketiga-tiganya memilih dibuang ke luar negeri saja, yakni ke negeri
Belanda. Dengan pertimbangan, kalau dibuang ke luar negeri di perlakukan hukum
internasional. Sifat hukum internasional adalah liberal dan demokrasi, sehingga
masih dapat untuk mempelajari masalah-masalah perjuangan di negara-negara lain.
Hal tersebut memang benar dan ternyata setelah sampai di negeri Belanda, mereka
dapat bertemu dengan para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di negeri
tersebut. Pada saat itupara mahasiswa Indonesia di negeri Belanda juga sedang
giat-giatnya berorganisasi, yaitu Indische Vereniging. Dengan demikian para
tokoh Indische Partij tersebut dapat bergabung dalam organisasi tersebut.
Bahkan Suwardi Suryaningrat sempat duduk menjadi ketua Indische Vereniging.
Kedatangan “tiga serangkai” membawa
udara segar bagi para mahasiswa Indonesia di negeri Belanda. Cita-cita nasional
yang tidak berhasil diperjuangkan ditanah air, diteruskan di negari Belanda.
Indische Vereniging yang sebelumnya hanya bergerak dalam bidang sosial, mulai
berubah kearah bidang politik untuk mencapai cita-cita nasional. Untuk
menyampaikan gagasannya, agar diketahui oleh sesama kawan dalam perjuangan baik
yang ada di negeri Belanda maupun di tanah air, maka sejak tahun 1918 Indische
Vereniging mendirikan “Kantor Berita” yang diberi nama National Persbureau (Kantor
Berita Nasional). Pemimpin kantor berita ini adalah Suwardi Suryaningrat dan
telah menerbitkan majalah yang di beri nama “Hindia Putera”. Pada tahun 1919,
nama majalah dan nama organisasi, di usulkan oleh Ahmad Soebardjo, agar diganti
nama yang mengarah kepada kepentingan nasional. Nama organisasi diusulkan
menjadi Indische Vereniging. Jadi, ada perubahan dari Indische menjadi
Indonesische kemudian nama “Hindia Putera” agar diganti menjadi “Indonesia
Merdeka”. Atas usul tersebut pada prinsipnya disetujui, namun untuk
memasyarakatkan secara luas, masih harus dipertimbangkan secara matang. Baru
pada tahun 1922 nama itu diperkenalkan ke masyarakat dan secara resmi, yaitu
pada tahun 1925 kata-kata yang berbau kolonial tidak boleh dipakai lagi.
Sepertiga Indonesische Vereniging harus diterjemahkan menjadi “Perhimpunan
Indonesia”.
Sepeninggalnya “Tiga Serangkai” ke
negeri Belanda, keadaan organisasi Indische Partij semakin lama semakin mundur.
Mundurnya Indische Partij bukan karena ditinggalkan oleh ketiga tokoh
pendirinya, melainkan karena adanya larangan dari pihak pemerintah kolonial
Belanda. Akibatnya hampir setiap langkah geraknya tertutup, walaupun penerusnya
berusaha mengubah nama organisasi, yaitu dari Indische Partij menjadi “Partai
Insulinde”. Namun pihak pemerintah tetap curiga terhadap organisasi yang baru
ini.
Sementara itu juga disebabkan oleh
pengaruh Sarekat Islam yang semakin kuat dikalangan masyarakat, maka banyak
para penerus Indische Partij yang mengikuti jejak Sarekat Islam. Dengan deemikian,
Indische Partij semakin lemah dan mati dengan sendirinya. Walaupun sebenarnya
Douwes Dekker sekembalinya dari negeri Belanda pada tahun 1918, masih berusaha
untu menghidupkan kembali kegiatan Indiche Partij, namun usahanya sia-sia saja.
Usaha Douwes Dekker itu antara lain dengan mengubah nama Indische Partij
menjadi National Indische Partij (NIP) pada tahun 1919. Berhubung sudah dicatat
oleh pemerintah sebagai organisasi yang berbahaya, maka dalam bentuk apapun
Indische Partij tetap dilarang.
Akhirnya Tiga Serangkai yang masih
dapat diharapkan adalah cita-citanya yang masih hidup di kalangan masyarakat,
yaitu dapat disalurkan melalui bidang pendidikan. Suwardi Suryaningrat pada
tanggal 3 Juli 1922, berhasil mendirikan “Taman Siswa” yang bergerak dalam bidang
pendidikan, sehingga banyak berdiri “Sekolah-sekolah Taman Siswa” hampir di
seluruh Indonesia dan yang pertama kali berdiri adlah Sekolah Taman Siswa di
Yogyakarta. Kemudian pada tahun yang sama, Douwes Dekker juga mendirikan
sekolah di Cigelereng, Bandung dengan nama Ksatria School. Pada tahun 1926
sekolah ini maju pesat, dan Douwes Dekker berhasil mendirikan sebuah yayasan
yang diberi nama “Yayasan Ksatria Institut” . Demikian juga dr. Cipto
Mangunkusumo tidak mau ketinggalan, ia mendirikan sekolah “Kartini Club”,
tetapi karena kekurangan dana, sehingga tidak dapat berkembang dan akhirnya
bubar.
Dari anggaran dasarnya dapat
diketahui bahwa program-program menunjukkan sifat revolusionernya. Tujuan
Indische Partij adalah membangunkan patriotisme semua “Indiers” terhadap tanah
air, yang telah memberikan lapangan hidup kepada mereka, agar mereka mendapat
dorongan untuk bekerjasama atas dasar persamaan ketatanegaraan untuk memajukan
tanah air “Hindia” dan untuk mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka. Berkat
propaganda yang dilakukan dengan cermat baik melalui persuratkabaran, surat
edaran, selebaran, maupun segala macam pertemuan dan rapat-rapat, Indische
Partij mengalami kemajuan yang demikian pesat. Kemajuan yang demikian pesat itu
merupakan ancaman yang membahayakan bagi keberlangsungan penjajahan Belanda.
Itulah sebabnya dengan berbagai daya upaya pihak penjajah mencoba
menghalang-halangi lajunya pertumbuhan organisasi pergerakan tersebut.
Persuratkabaran Belanda seperti Preanger, Mataram, Soerabajaasch Handelsblod,
dan Semarang Handelsblod melancarkan serangkaian aksi dengan komentar-komentar
yang sangat merugikan Indische Partij.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar