2 Nasionalisme
Arab pada masa pra-Islam
Faktor-faktor kuat dalam
perkembangan nasionalisme Arab selama jangka waktu sebelumnya Islam? Yang
paling penting mungkin adalah lingkungan keadaannya. Pada beberapa contoh
lainnya pertemuan antara lingkungan fisik dan lingkungan sosial merupakan suatu
tirani dari satu pihak saja, yakni kekuasaan alam terhadap manusia. Riwayat
bangsa Arab dimasa pra-Islam sebagian besar merupakan suatu catatan dari pada
perjuangan mereka yang tiada henti-hentinya untuk mempertahankan kehidupan,
melalui penyesuaian diri dengan alam dan masyarakat terhadap lingkungan yang
sangat kejam, atau apabila usaha-usaha demikian tidak berhasil mereka pindah
menjalankan ekspansi.
Memang kesukaran itu ada baiknya,
asal tidak terlalu atau mutlak. Karena kesukaran itu dapat berupa suatu bencana
yang mematikan dan bukannya mendorong masyarakat yang tertimpa. Perlu sekali
dalam menjelaskan hal ini karena dalam mengukur pengaruh lingkungan terhadap
bangsa Arab di zaman pra-Islam, maka para ahli sejarah khususnya mereka yang
cenderung membenarkan thesis bahwa “kesukaran itu baik”, menunjukkan kepada
gejala (terhadap zaman purbakala dan abad pertengahan) bahwa daerah industri
modern pasti ditinggalkan. Yakni pertemuan antara bangsa-bangsa pengembara
(nomad) dan bangsa-bangsa yang menetap, pindahnya bangsa-bangsa pengembara yang
meninggalkan gurun-gurun dan daerah-daerah steppa ke daerah-daerah bangsa
menetap yang terlalu mewah dan moralnya sudah merosot. Keberaniannya, kekerasan
hatinya, dan kecepatan geraknya disyaratkan kepada bangsa yang hidup
mengembara, memberi keunggulan pertama kepada mereka dan kesudahan sengketa
menguntungkan mereka. Akan tetapi ini hanyalah hasil yang tak langsung
diperoleh dengan bayaran mahal dalam abad yang sunyi ; dan jika kita
membenarkan tafsiran Ibn Khaldun, maka hasil inipun pasti tak lama
dinikmatinya, karena kemenangan mengandung benih-benih kehancuran.
Sebagai kutuk ataupun sebagai
berkah, akibat lingkungan memanglah menentukan. Dilapangan politik, hal ini tak
memungkinkan dibentuknya suatu pemerintahan pusat kepada siapa rakyat dapat
mempunyai tanggung jawab, tugas politik dan disekitar mana dapat berkembang
suatu tradisi kesetiaan dan disiplin. Tiadanya stabilitet politik yang
menggoncangkan Imperium Arab sampai pada dasarnya segera setelah imperium itu
didirikan disebabkan karena tiadanya tradisi politik bersama di zaman
pembangunan yang menentukan sebelum Islam. Kemana mereka itu pergi, orang-orang
Arab membawa serta individualismenya yang mendalam dan dipertahankannya dengan
gigih serta kebenciannya kepada segala otoritet kecuali otoritet pemimpin
sukunya sendiri, dengan siapa mereka dihubungkan dengan ikatan kekeluargaan.
Akan tetapi kecenderungan lepas
dari pusat ini diimbangi oleh sifat lainnya yang disebabkan oleh lingkungannya
berupa gurun, rasa senasib-sepenanggungan, asabiyah
(setiakawan), oleh Ibn Khaldun dianggap sebagai penegak, elanvital negara. Rasa senasib-sepenanggungan
ini, yang mirip dengan gagasan patriotisme modern (meskipun lebih terbatas
dalam penggunaannya), khususnya sangat kuat di Arab pra-Islam karena dalam
keadaan dimana tiada kekuasaan politik pusat, asabiyah ini merupakan
satu-satunya perlindungan kepada individu di tengah lingkungan yang liar dan
buas. Ini berdasarkan asas keamanan bersama dan didalamnya terdapat kewajiban
dan hak kedua-duanya. Jika ada individu kena bencana atau dirugikan, maka
masyarakat suku berusaha mengganti kerugian. Karena menyadari perlindungan dan
bantuan ini, maka setiap anggota menyatakan kesetiaan dan kebaktian tanpa
syarat kepada masyarakat bersama. Ikatan kesetiaakawanan memberi pengaruh yang
sangat mendalam kepada peruntungan bangsa Arab pada awal masa Islam, karena ikatan
itu tak sedikit memudahkan tugas untuk mengorganisasi dan mempersatukan mereka
yang sudah setengahnya terselenggara dalam tentara suku yang berdisiplin dan
berkobar semangatnya serta adanya persekutuan suku yang kuat pula. [1]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar