Jumat, Juni 14, 2019

Peran Amerika Serikat Sebagai Polisi Dunia di Timur Tengah


A.           Peran Amerika Serikat Sebagai Polisi Dunia di Timur Tengah
a.             Perang Teluk (Perang Irak-Iran)
1)      Bidang Politik
Perang Irak-Iran juga dikenal sebagai Pertahanan Suci dan Perang revolusi Iran di Iran, dan Qadisiyyah Saddam (قادسيّة صدّام, Qādisiyyat Saddām) di Irak, adalah perang antara Irak dan Iran yang bermula pada bulan September 1980 dan berakhir pada bulan Agustus 1988. Umunya perang ini dikenal sebagai Perang Teluk Persia sehingga Konflik Iraq-Kuwait meletus pada awal 1990-an, dan untuk beberapa waktu dikenal sebagai Perang Teluk Persia Pertama.[1]
Perang Teluk merupakan perang yang terjadi di antara Irak dengan Iran. Perang Teluk tersebut berjalan dua kali, biasa disebut sebagai Perang Teluk I, Perang Teluk II dan Perang Teluk III. Dua hal yang berkaitan dengan situasi tersebut adalah: pertama, upaya Barat (Sekutu) untuk melumpuhkan kekuatan militer Irak; dan kedua, upaya Iran untuk bangkit kembali sebagai “kekuatan penentu” di kawasan Teluk Parsi.
Selama Perang Teluk I, Amerika Serikat memihak Irak yang dipimpinan oleh Presiden Saddam Hussein. Perang ini bermula ketika rezim Saddam Hussein berkuasa. Berawal dari Saddam Hussein melakukan pelanggaran di wilayah Iran. ia bermaksud untuk merebut provinsi kaya minyak Khuzestan ke dalam wilayahnya dan memisahkannya dari Iran. saddam juga berencana menggulingkan Republik Islam Iran. Untuk menjalankan ambisinya tersebut, ia dibantu oleh Amerika Serikat, baik dana, militer maupun politik. Dengan dukungan yang kuat, Saddam Hussein sangat yakin jika Iran dibawah pimpinan Imam Khomaeni mampu ditundukan dengan mudah. Apalagi beberapa wilayah Iran telah mampu dikuasai oleh Irak. Saddam menjadi Presiden Irak mendapat dukungan penuh dari Barat dan sejumlah Negara Arab untuk menyerang Iran. Karena Iran dengan tegas memproklamirkan menjadi Negara Islam. Bagi dunia, Negara yang berasaskan Islam merupakan sebuah ancaman yang serius.
Amerika Serikat yang menjadi ketua PBB mencoba menengahi pertikaian tersebut. Setelah diadakannya sidang Dewan Keamanan PBB pada tanggal 28 September 1980 di New York telah meminta kepada kedua pihak untuk menghentikan perperangan dan permasalahan yang diselesaikan di meja perundingan. Mereka meminta Irak mundur dari tempat-tempat yang diduduki di Iran. Pihak ketiga juga bersedia membantu menyelesaikan permasalahan tersebut, pihak ketiga tersebut antara lain Chadli Benjedid (Presiden Aljazair), Jenderal Zia Ul Haq (Presiden Pakistan), Yasser Arafat (Ketua Organisasi Palestina), dan Habib Chatti (Sekertaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam). Namun dari kedua belah pihak yang bertikai menolak tawaran tersebut.[2]
Dalam proses penyelesain Perang Irak-Iran, Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan Resolusi No.598 pada tanggal 20 Juli 1987. Resolusi ini berisi usulan untuk dilakukannya genjatan senjata antara Irak dan Iran. Iran menolak usulan tersebut dan hanya mau menerima apabila Irak dinyatan sebagai pihak aggresor. SedaIrak mau menerima resolusi dengan syarat pihak lawan juga harus berbuat yang sama. Pada akhir Juli 1988, Iran menyatakan kesediaanya untuk menerima usul genjatan senjata seperti yang tercantum dalam Resolusi DK PBB No.598. Iran mendapat kompensasi dari Irak sebesar 150 juta dolar AS pertahun.[3]
Dalam perang teluk II, perang tersebut yang melibatkan Irak dan Kuwait adalah perang kedua terbesar Irak setelah perang Iran-Irak, sekaligus merupakan perang pertama dimana AS ikut serta sebagai aktor utuh yang ikut berperang. Perang ini melibatkan AS dan koalisi PBB dan sebagian besar negara-negara Arab bergerak membantu Kuwait melawan Irak seperti Yaman, Yordania dan PLO (Palestinian Liberation Organization). Pada perang ini Liga Arab terpecah menjadi dua kubu dan melahirkan konflik baru diantara anggotanya.
Perang dimulai ketika 100.000 pasukan Irak bergerak menuju selatan, menyerbu dan menguasai ibu kota. Hampir keseluruhan anggota keluarga kerajaan, termasuk sang Amir, Sheikh Jaber Al-Sabah, terbang menuju Saudi Arabia. Kurang dari seminggu, tepatnya 6 Agustus Baghdad resmi mencaplok Kuwait dan mendeklarasikannya sebagai provinsi ke-19 Irak.
Pada tahun 1987 Kuwait membujuk AS untuk memberikan perlindungan terhadap armada kapal tanker Kuwait hingga menyeret Amerika Serikat langsung ke perang, dengan menyiratkan bahwa jika AS tidak bersedia membantu maka mereka akan berpaling ke Uni Soviet, AS secara resmi masuk dalam perang. Kapal perang AS segera mulai berpatroli di Teluk dan pada 17 Mei 1987 sebuah pesawat Super-Etendard Irak menembakkan dua rudal Exocet pada USS Stark, mengira itu adalah kapal perang Iran. Sehingga kesalahan terjadi dilakukan oleh Amerika Serikat, dengan demikian Amerika merasa bersalah akan kejadian seperti itu.

2)      Bidang Pertahanan
Pada saat Perang Teluk II, Kuwait yang didesak oleh Irak kemudian membujuk AS untuk memberikan perlindungan terhadap armada kapal tanker hingga menyeret Amerika Serikat langsung ke perang, dengan menyiratkan bahwa jika AS tidak bersedia membantu maka mereka akan berpaling ke Uni Soviet, AS secara resmi masuk dalam perang. Kapal perang AS segera mulai berpatroli di Teluk dan pada 17 Mei 1987 sebuah pesawat Super-Etendard Irak menembakkan dua rudal Exocet pada USS Stark, mengira itu adalah kapal perang Iran.
Memalukan bagi pihak Amerika, pertahanan Stark tidak lagi berfungsi dan 37 pelaut AS tewas. Irak meminta maaf atas insiden tersebut dan diterima. Untuk memastikan jika insiden tersebut tidak lagi terjadi, pasukan Irak, AS, dan Arab berkolaborasi. Iran dengan sejumlah pembenaran menuduh AS membantu Irak. Iran mulai menebar jurang dengan ranjau anti-kapal. Beberapa kapal terjerat termasuk USS Samuel B. Roberts pada bulan April 1988.
Ketegangan meningkat lebih jauh ketika pada 3 Juli 1988 kapal perang Amerika menembak jatuh sebuah maskapai penerbangan Iran secara tidak sengaja. Perang pun meluas, salah satu aspek perang ini adalah keputusan Saddam untuk melemahkan semangat Iran melalui Perang Kota yang dimulai Februari 1984, dimana angkatan udara Irak dan kapabilitas misilnya diarahkan ke salah satu pusat kota Iran, Dezful. Maret 1985 misil Irak menyerang Ahvaz dan Bushehr sebagai balasan serangan Iran pada Basra dan Baghdad.
Untuk mengatasi permasalahan Irak-Iran, PBB kemudian membentuk Tentara multinasional yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Mesir, Suriah, Bangladesh, Pakistan dan Maroko. Semula aliansi itu bertujuanuntuk melindungi para sekutu Arabnya dari ancaman Irak. Tetapi tujuan yangsemula bersifat defensif ini berubah menjadi ofensif karena tujuannya berubahmenjadi “menghantam Irak” khususnya Presiden Saddam Hussein. Perang yangoleh Amerika Serikat disebut ”Operasi Badai Gurun” itu menewaskan sekitar3500 penduduk sipil. Laporan lain mengungkapkan korban tewas akibat peristiwatersebut tercatat 200.000 orang. Irak juga kehilangan 2085 tank, 962 kendaraanlapis baja, 1005 artileri dan 103 pesawat terbang. Sementara tentara AmerikaSerikat yang tewas sebanyak 55 orang, terluka 150 orang dan hilang 30 orang.
Untuk melakukan penyerangan ke Irak alasan pokok yang dikemukakanGeorge W. Bush adalah untuk membebaskan Kuwait yang diduduki Irak sejak 2Agustus 1990. Namun melihat skala penghancuran Irak, sangat meragukan apamotif sebenarnya dari AS. Krisis Teluk II ini telah membuka kedok AmerikaSerikat dan sekutunya yang sebenarnya dalam konteks politik Timur Tengah.Yaitu bahwa kepentingan politik Amerika Serikat yang terutama di Timur Tengahadalah Israel dan minyak.Setelah Perang Teluk II yang menghancurkan infrastruktur Irak ini,Amerika Serikat masih terus bernafsu melakukan penyerangan terhadap Irak.
Pada 16 Desember 1998, Amerika Serikat di dukung Inggris melancarkanserangan udara empat hari atas Irak. Serangan ini ditujukan pada perlengkapanmiliter dan industri Irak. Serangan dilakukan karena Saddam telah mengusir TimPemeriksa Senjata Nuklir PBB, UNSCOM (United Nations Special Commision).80Serangan ini dinamakan Operasi Serigala Gurun yang merupakan lanjutan dariOperasi Badai Gurun pada Perang Teluk II tahun 1991 (‘Alauddin Al Mudarris,2004: 40 dalam Makalah Nur Ika, INTERVENSI AMERIKA SERIKAT TERHADAP IRAK DALAM PERANG TELUK III).Operasi Serigala Gurun ini melibatkan lebih dari 40 ribu personil, denganperincian; 30 ribu terlibat langsung dalam pertempuran, sementara 10 ribupersonil lainnya bertugas mendukung kelancaran operasi dengan menyiapkanberbagai kebutuhan, seperti logistik dan transportasi. Sedangkan dari segi armada,Amerika Serikat dan Inggris mengerahkan 300 unit pesawat tempur yang telahmelakukan 600 kali penyerangan udara, dan 40 unit kapal perang pembantu.Kekuatan ini benar-benar ditujukan untuk menghancurkan Irak yang hampirhancur perekonomiannya akibat sanksi ekonomi berupa embargo sejak Perang Dunia II.

b.             Perang Israel-Palestina
1)      Bidang Politik
Konflik Israel-Palestina, bagian dari konflik Arab-Israel yang lebih luas, adalah konflik yang berlanjut antara bangsa Israeldan bangsa Palestina. Konflik Israel-Palestina ini bukanlah sebuah konflik dua sisi yang sederhana, seolah-olah seluruh bangsa Israel (atau bahkan seluruh orang Yahudi yang berkebangsaan Israel) memiliki satu pandangan yang sama, sementara seluruh bangsa Palestina memiliki pandangan yang sebaliknya. Di kedua komunitas terdapat orang-orang dan kelompok-kelompok yang menganjurkan penyingkiran teritorial total dari komunitas yang lainnya, sebagian menganjurkan solusi dua negara, dan sebagian lagi menganjurkan solusi dua bangsa dengan satu negara sekular yang mencakup wilayah Israel masa kini, Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur.[4]
Terjadi konflik Israel-Palestina yang dalam banyak hal dipandang sebagai konflik Yahudi-Islam, analisis tentang masalah politik sebagai pemicu konflik juga banyak digulirkan berbagai pihak. Konflik ini merupakan konflik yang dipicu oleh klaim hak atas tanah Palestina dari kedua pihak yang bertikai. Israel selalu mengatakan posisi legal internasional internasional mereka atas Jerusalem berasal dari mandat Palestina. Dipihak lain, Palestina juga menyatakan Jerusalem akan menjadi ibu kota negara Palestina Merdeka di masa mendatang atas dasar klaim pada agama, sejarah dan jumlah penduduk di kota itu.[5]Yahudi menganggap Palestina sebagai “tanah yang dijanjikan” dan mayoritas mereka meyakini bahwa Yerusalem harus kembali menjadi ibu kota Israel sebagai intervensi Tuhan untuk mengembalikan hak bangsa Yahudi yang selama ini tertindas.
Secara resmi proses perundingan perdamaian antara Israel dengan Suriah, Lebanon, dan Palestina dengan dikosponsori oleh AS dan Uni Soviet (sebelum bubar menjadi CIS) telah dimulai di Madrid pada akhir 1991. Setelah itu sudah ada tujuh kali perundingan lanjutan di Washington dan nampaknya akan terus dilanjutkan. Selama ini kita cenderung memahami bahwa AS adalah sekutu paling dekat dengan Israel. Setiap tahunnya, AS member bantuan ekonomi 3 miliar dolar AS ke Israel. AS tak segan berdiri malu di pihak Israel dalam ‘pengadilan’ PBB dan forum internasional lain yang menggugat pelanggaran Israel atas hukum internasional dan masalah serupa lainnya. Tentu saja dibalik ini semua ada agenda politik di dalamnya. Timur Tengah memiliki makna penting bagi AS dan dunia Barat setelah Perang Dunia II berakhir.[6] Mereka mulai merasakan keuntungan-keuntungan minyak dari kawasan Teluk. AS dan  dunia Barat sejak awal menyadari bahwa kendali persediaan minyak di Timur Tengah merupakan sarana untuk mengendalikan dunia. Sejak itulah agenda politik AS dan dunia Barat beralih ke Timur Tengah.
Pembentukan Israel atas kepentingan AS dan dunia Barat. Sejak berdirinya Israel memang sengaja diarahkan untuk memiliki ‘sedikit’ dominasi politik dan ekonomi di wilayah itu. Dengan begitu AS dan Barat akan mudah menanamkan pengaruh di kawasan Timur Tengah. Kebijakan luar negeri As dilandaskan pada upaya mengisolasi Israel dari kawasan lainnya, serta membatasi perannya dalam masalah Palestina dan Timur Tengah. Kebijakan AS terpusat pula pada pembentuakn negarav Palestina merdeka yang sekuler. Bahkan demi kepentingan itu As menempatkan pasukan multi nasional di sepanjang perbatasan Israel dan  negara-negara Arab tetangganya. Kebijakan As yang lainnya berkisar pada usaha internasionalisasi wilayah Yerusalem. AS memandang Internasionalisasi adalah solusi atau masalah sensitive yang bakan melegakan umat Kristen dan menghadirkan semakin kuatnya pengaruh AS melalui kehadiran PBB disana.

2)      Bidang Pertahanan
Konflik Israel-Palestina yang berkepanjangan membuat sebagian negara mempertanyakan fungsi dan efektivitas adanya DK PBB. Begitu dekatnya Amerika dengan Israel dalam berbagai hal menjadikan resolusi Dewan yang dijatuhkan terasa kurang efektif. Misalnya saja implementasi resolusi 271, 298, 452, dan 673. Israel memang punya hak untuk mempertahankan diri, namun tidak ada yang punya hak “mempertahankan” wilayah pendudukan. Dan ketika Mahkamah Internasional mengutuk pembangunan “dinding pemisah,” bahkan di sebuah Peradilan AS, hakim Buergenthal, menegaskan bahwa pembangunan tembok pemisah untuk mempertahankan wilayah pendudukan Israel merupakan ipso facto dalam “pelanggaran hukum kemanusiaan internasional,” karena pendudukan itu sendiri ilegal.” Namun kenyataannya, tembok besar telah berdiri kokoh dan banyak penduduk sipil Palestina menjadi korban serta Israel seolah tidak bersalah.
Terakhir, resolusi 1860 yang baru saja dikeluarkan DK PBB menjadi tidak berarti untuk dilaksanakan kedua belah pihak yang berselisih. Hanya Amerika Serikat saja yang abstain dalam pemungutan suara mengenai pengesahan resolusi 1860 tersebut. Sedangkan ke-13 anggota DK PBB (baik permanent atau non-permanent members) lainya setuju untuk disahkannya resolusi tersebut guna menghindari banyaknya korban serta menghindari serangkaian pelanggaran terhadap prinsip-prinsip Hukum Internasional. 
Kedekatan Amerika dengan Israel memang tidak terelakkan lagi. The New York Times (23 September 2001), memberitakan bahwa bantuan yang diberikan untuk Israel adalah sebesar 77 Milyar US$ sejak tahun 1967. Dan itu belum termasuk “sumbangan” teknologi militer yang canggih.[7] Fakta tersebut memberikan gambaran buruk akibat adanya dua wajah dari Amerika yaitu sebagai anggota tetap DK PBB dan sebagai TTM Israel. Tidak salah lagi apabila Israel berani untuk “tidak mematuhi” segala aturan dari resolusi Dewan karena Amerika berada dibelakangnya. Sehingga muncul ketidakefektifan dan ketidakadilan resolusi Dewan yang hanya berdasar kepentingan politik semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nasionalisme Arab