A.
Peran Amerika Serikat Sebagai Polisi Dunia di Timur
Tengah
a.
Perang Teluk (Perang Irak-Iran)
1)
Bidang Politik
Perang Irak-Iran juga dikenal sebagai Pertahanan
Suci dan Perang revolusi Iran di Iran, dan Qadisiyyah Saddam (قادسيّة صدّام, Qādisiyyat Saddām) di Irak, adalah perang
antara Irak dan Iran yang bermula pada bulan September 1980 dan berakhir pada
bulan Agustus 1988. Umunya perang ini dikenal sebagai Perang Teluk Persia
sehingga Konflik Iraq-Kuwait meletus pada awal 1990-an, dan untuk beberapa
waktu dikenal sebagai Perang Teluk Persia Pertama.[1]
Perang
Teluk merupakan perang yang terjadi di antara Irak dengan Iran. Perang Teluk
tersebut berjalan dua kali, biasa disebut sebagai Perang Teluk I, Perang Teluk
II dan Perang Teluk III. Dua hal yang berkaitan dengan situasi tersebut adalah:
pertama, upaya Barat (Sekutu) untuk melumpuhkan kekuatan militer Irak; dan
kedua, upaya Iran untuk bangkit kembali sebagai “kekuatan penentu” di kawasan
Teluk Parsi.
Selama
Perang Teluk I, Amerika Serikat memihak Irak yang dipimpinan oleh Presiden
Saddam Hussein. Perang ini bermula
ketika rezim Saddam Hussein berkuasa. Berawal dari Saddam Hussein melakukan
pelanggaran di wilayah Iran. ia bermaksud untuk merebut provinsi kaya minyak
Khuzestan ke dalam wilayahnya dan memisahkannya dari Iran. saddam juga
berencana menggulingkan Republik Islam Iran. Untuk menjalankan ambisinya
tersebut, ia dibantu oleh Amerika Serikat, baik dana, militer maupun politik.
Dengan dukungan yang kuat, Saddam Hussein sangat yakin jika Iran dibawah
pimpinan Imam Khomaeni mampu ditundukan dengan mudah. Apalagi beberapa wilayah
Iran telah mampu dikuasai oleh Irak. Saddam menjadi Presiden Irak mendapat
dukungan penuh dari Barat dan sejumlah Negara Arab untuk menyerang Iran. Karena
Iran dengan tegas memproklamirkan menjadi Negara Islam. Bagi dunia, Negara yang
berasaskan Islam merupakan sebuah ancaman yang serius.
Amerika Serikat yang menjadi ketua PBB mencoba
menengahi pertikaian tersebut. Setelah diadakannya sidang Dewan Keamanan PBB
pada tanggal 28 September 1980 di New York telah meminta kepada kedua pihak
untuk menghentikan perperangan dan permasalahan yang diselesaikan di meja
perundingan. Mereka meminta Irak mundur dari tempat-tempat yang diduduki di
Iran. Pihak ketiga juga bersedia membantu menyelesaikan permasalahan tersebut,
pihak ketiga tersebut antara lain Chadli Benjedid (Presiden Aljazair), Jenderal
Zia Ul Haq (Presiden Pakistan), Yasser Arafat (Ketua Organisasi Palestina), dan
Habib Chatti (Sekertaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam). Namun dari
kedua belah pihak yang bertikai menolak tawaran tersebut.[2]
Dalam proses penyelesain Perang Irak-Iran, Dewan
Keamanan PBB telah mengeluarkan Resolusi No.598 pada tanggal 20 Juli 1987.
Resolusi ini berisi usulan untuk dilakukannya genjatan senjata antara Irak dan
Iran. Iran menolak usulan tersebut dan hanya mau menerima apabila Irak dinyatan
sebagai pihak aggresor. SedaIrak mau menerima resolusi dengan syarat pihak
lawan juga harus berbuat yang sama. Pada akhir Juli 1988, Iran menyatakan
kesediaanya untuk menerima usul genjatan senjata seperti yang tercantum dalam
Resolusi DK PBB No.598. Iran mendapat kompensasi dari Irak sebesar 150 juta
dolar AS pertahun.[3]
Dalam
perang teluk II, perang tersebut
yang melibatkan Irak dan Kuwait adalah perang kedua terbesar Irak setelah
perang Iran-Irak, sekaligus merupakan perang pertama dimana AS ikut serta
sebagai aktor utuh yang ikut berperang. Perang ini melibatkan AS dan koalisi
PBB dan sebagian besar negara-negara Arab bergerak membantu Kuwait melawan Irak
seperti Yaman, Yordania dan PLO (Palestinian Liberation Organization). Pada
perang ini Liga Arab terpecah menjadi dua kubu dan melahirkan konflik baru
diantara anggotanya.
Perang dimulai ketika 100.000 pasukan Irak
bergerak menuju selatan, menyerbu dan menguasai ibu kota. Hampir keseluruhan
anggota keluarga kerajaan, termasuk sang Amir, Sheikh Jaber Al-Sabah, terbang
menuju Saudi Arabia. Kurang dari seminggu, tepatnya 6 Agustus Baghdad resmi mencaplok
Kuwait dan mendeklarasikannya sebagai provinsi ke-19 Irak.
Pada tahun 1987 Kuwait membujuk AS untuk
memberikan perlindungan terhadap armada kapal tanker Kuwait hingga menyeret
Amerika Serikat langsung ke perang, dengan menyiratkan bahwa jika AS tidak
bersedia membantu maka mereka akan berpaling ke Uni Soviet, AS secara resmi
masuk dalam perang. Kapal perang AS segera mulai berpatroli di Teluk dan pada
17 Mei 1987 sebuah pesawat Super-Etendard Irak menembakkan dua rudal Exocet
pada USS Stark, mengira itu adalah kapal perang Iran. Sehingga kesalahan
terjadi dilakukan oleh Amerika Serikat, dengan demikian Amerika merasa bersalah
akan kejadian seperti itu.
2)
Bidang Pertahanan
Pada saat Perang Teluk II, Kuwait yang didesak
oleh Irak kemudian membujuk AS untuk memberikan perlindungan terhadap armada
kapal tanker hingga menyeret Amerika Serikat langsung ke perang, dengan
menyiratkan bahwa jika AS tidak bersedia membantu maka mereka akan berpaling ke
Uni Soviet, AS secara resmi masuk dalam perang. Kapal perang AS segera mulai
berpatroli di Teluk dan pada 17 Mei 1987 sebuah pesawat Super-Etendard Irak
menembakkan dua rudal Exocet pada USS Stark, mengira itu adalah kapal perang
Iran.
Memalukan bagi pihak Amerika, pertahanan Stark
tidak lagi berfungsi dan 37 pelaut AS tewas. Irak meminta maaf atas insiden
tersebut dan diterima. Untuk memastikan jika insiden tersebut tidak lagi
terjadi, pasukan Irak, AS, dan Arab berkolaborasi. Iran dengan sejumlah
pembenaran menuduh AS membantu Irak. Iran mulai menebar jurang dengan ranjau
anti-kapal. Beberapa kapal terjerat termasuk USS Samuel B. Roberts pada bulan
April 1988.
Ketegangan meningkat lebih jauh ketika pada 3
Juli 1988 kapal perang Amerika menembak jatuh sebuah maskapai penerbangan Iran
secara tidak sengaja. Perang pun meluas, salah satu aspek perang ini adalah
keputusan Saddam untuk melemahkan semangat Iran melalui Perang Kota yang
dimulai Februari 1984, dimana angkatan udara Irak dan kapabilitas misilnya
diarahkan ke salah satu pusat kota Iran, Dezful. Maret 1985 misil Irak
menyerang Ahvaz dan Bushehr sebagai balasan serangan Iran pada Basra dan
Baghdad.
Untuk
mengatasi permasalahan Irak-Iran, PBB kemudian membentuk Tentara multinasional
yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Mesir, Suriah,
Bangladesh, Pakistan dan Maroko. Semula aliansi itu bertujuanuntuk melindungi
para sekutu Arabnya dari ancaman Irak. Tetapi tujuan yangsemula bersifat
defensif ini berubah menjadi ofensif karena tujuannya berubahmenjadi
“menghantam Irak” khususnya Presiden Saddam Hussein. Perang yangoleh Amerika
Serikat disebut ”Operasi Badai Gurun” itu menewaskan sekitar3500 penduduk
sipil. Laporan lain mengungkapkan korban tewas akibat peristiwatersebut tercatat
200.000 orang. Irak juga kehilangan 2085 tank, 962 kendaraanlapis baja, 1005
artileri dan 103 pesawat terbang. Sementara tentara AmerikaSerikat yang tewas
sebanyak 55 orang, terluka 150 orang dan hilang 30 orang.
Untuk
melakukan penyerangan ke Irak alasan pokok yang dikemukakanGeorge W. Bush
adalah untuk membebaskan Kuwait yang diduduki Irak sejak 2Agustus 1990. Namun
melihat skala penghancuran Irak, sangat meragukan apamotif sebenarnya dari AS.
Krisis Teluk II ini telah membuka kedok AmerikaSerikat dan sekutunya yang
sebenarnya dalam konteks politik Timur Tengah.Yaitu bahwa kepentingan politik
Amerika Serikat yang terutama di Timur Tengahadalah Israel dan minyak.Setelah
Perang Teluk II yang menghancurkan infrastruktur Irak ini,Amerika Serikat masih
terus bernafsu melakukan penyerangan terhadap Irak.
Pada
16 Desember 1998, Amerika Serikat di dukung Inggris melancarkanserangan udara
empat hari atas Irak. Serangan ini ditujukan pada perlengkapanmiliter dan
industri Irak. Serangan dilakukan karena Saddam telah mengusir TimPemeriksa
Senjata Nuklir PBB, UNSCOM (United Nations Special Commision).80Serangan
ini dinamakan Operasi Serigala Gurun yang merupakan lanjutan dariOperasi Badai
Gurun pada Perang Teluk II tahun 1991 (‘Alauddin Al Mudarris,2004: 40 dalam
Makalah Nur Ika, INTERVENSI AMERIKA SERIKAT TERHADAP IRAK DALAM
PERANG TELUK III).Operasi Serigala Gurun ini melibatkan
lebih dari 40 ribu personil, denganperincian; 30 ribu terlibat langsung dalam
pertempuran, sementara 10 ribupersonil lainnya bertugas mendukung kelancaran
operasi dengan menyiapkanberbagai kebutuhan, seperti logistik dan transportasi.
Sedangkan dari segi armada,Amerika Serikat dan Inggris mengerahkan 300 unit
pesawat tempur yang telahmelakukan 600 kali penyerangan udara, dan 40 unit kapal
perang pembantu.Kekuatan ini benar-benar ditujukan untuk menghancurkan Irak
yang hampirhancur perekonomiannya akibat sanksi ekonomi berupa embargo sejak
Perang Dunia II.
b.
Perang Israel-Palestina
1)
Bidang Politik
Konflik Israel-Palestina, bagian dari konflik Arab-Israel yang
lebih luas, adalah konflik yang
berlanjut antara bangsa Israeldan
bangsa Palestina.
Konflik Israel-Palestina ini bukanlah sebuah konflik dua sisi yang sederhana,
seolah-olah seluruh bangsa Israel (atau bahkan seluruh orang Yahudi yang
berkebangsaan Israel) memiliki satu pandangan yang sama, sementara seluruh
bangsa Palestina memiliki pandangan yang sebaliknya. Di kedua komunitas
terdapat orang-orang dan kelompok-kelompok yang menganjurkan penyingkiran
teritorial total dari komunitas yang lainnya, sebagian menganjurkan solusi dua negara,
dan sebagian lagi menganjurkan solusi dua bangsa dengan
satu negara sekular yang mencakup wilayah Israel masa kini, Jalur Gaza, Tepi Barat,
dan Yerusalem Timur.[4]
Terjadi
konflik Israel-Palestina yang dalam banyak hal dipandang sebagai konflik
Yahudi-Islam, analisis tentang masalah politik sebagai pemicu konflik juga
banyak digulirkan berbagai pihak. Konflik ini merupakan konflik yang dipicu
oleh klaim hak atas tanah Palestina dari kedua pihak yang bertikai. Israel
selalu mengatakan posisi legal internasional internasional mereka atas
Jerusalem berasal dari mandat Palestina. Dipihak lain, Palestina juga
menyatakan Jerusalem akan menjadi ibu kota negara Palestina Merdeka di masa
mendatang atas dasar klaim pada agama, sejarah dan jumlah penduduk di kota itu.[5]Yahudi
menganggap Palestina sebagai “tanah yang dijanjikan” dan mayoritas mereka
meyakini bahwa Yerusalem harus kembali menjadi ibu kota Israel sebagai
intervensi Tuhan untuk mengembalikan hak bangsa Yahudi yang selama ini
tertindas.
Secara resmi proses perundingan perdamaian antara
Israel dengan Suriah, Lebanon, dan Palestina dengan dikosponsori oleh AS dan
Uni Soviet (sebelum bubar menjadi CIS) telah dimulai di Madrid pada akhir 1991.
Setelah itu sudah ada tujuh kali perundingan lanjutan di Washington dan
nampaknya akan terus dilanjutkan. Selama ini kita
cenderung memahami bahwa AS adalah sekutu paling dekat dengan Israel. Setiap
tahunnya, AS member bantuan ekonomi 3 miliar dolar AS ke Israel. AS tak segan
berdiri malu di pihak Israel dalam ‘pengadilan’ PBB dan forum internasional
lain yang menggugat pelanggaran Israel atas hukum internasional dan masalah
serupa lainnya. Tentu saja dibalik ini semua ada agenda politik di dalamnya.
Timur Tengah memiliki makna penting bagi AS dan dunia Barat setelah Perang Dunia
II berakhir.[6]
Mereka mulai merasakan keuntungan-keuntungan minyak dari kawasan Teluk. AS
dan dunia Barat sejak awal menyadari bahwa kendali persediaan minyak di
Timur Tengah merupakan sarana untuk mengendalikan dunia. Sejak itulah agenda
politik AS dan dunia Barat beralih ke Timur Tengah.
Pembentukan Israel atas kepentingan AS dan dunia Barat. Sejak berdirinya
Israel memang sengaja diarahkan untuk memiliki ‘sedikit’ dominasi politik dan
ekonomi di wilayah itu. Dengan begitu AS dan Barat akan mudah menanamkan
pengaruh di kawasan Timur Tengah. Kebijakan luar negeri As dilandaskan pada
upaya mengisolasi Israel dari kawasan lainnya, serta membatasi perannya dalam
masalah Palestina dan Timur Tengah. Kebijakan AS terpusat pula pada pembentuakn
negarav Palestina merdeka yang sekuler. Bahkan demi kepentingan itu As
menempatkan pasukan multi nasional di sepanjang perbatasan Israel dan
negara-negara Arab tetangganya. Kebijakan As yang lainnya berkisar pada usaha
internasionalisasi wilayah Yerusalem. AS memandang Internasionalisasi adalah
solusi atau masalah sensitive yang bakan melegakan umat Kristen dan
menghadirkan semakin kuatnya pengaruh AS melalui kehadiran PBB disana.
2)
Bidang Pertahanan
Konflik Israel-Palestina yang berkepanjangan
membuat sebagian negara mempertanyakan fungsi dan efektivitas adanya DK PBB.
Begitu dekatnya Amerika dengan Israel dalam berbagai hal menjadikan resolusi
Dewan yang dijatuhkan terasa kurang efektif. Misalnya saja implementasi
resolusi 271, 298, 452, dan 673. Israel memang punya hak untuk mempertahankan
diri, namun tidak ada yang punya hak “mempertahankan” wilayah pendudukan. Dan
ketika Mahkamah Internasional mengutuk pembangunan “dinding pemisah,” bahkan di
sebuah Peradilan AS, hakim Buergenthal, menegaskan bahwa pembangunan tembok
pemisah untuk mempertahankan wilayah pendudukan Israel merupakan ipso facto
dalam “pelanggaran hukum kemanusiaan internasional,” karena pendudukan itu
sendiri ilegal.” Namun kenyataannya, tembok besar telah berdiri kokoh dan
banyak penduduk sipil Palestina menjadi korban serta Israel seolah tidak
bersalah.
Terakhir, resolusi 1860 yang baru saja
dikeluarkan DK PBB menjadi tidak berarti untuk dilaksanakan kedua belah pihak
yang berselisih. Hanya Amerika Serikat saja yang abstain dalam pemungutan suara
mengenai pengesahan resolusi 1860 tersebut. Sedangkan ke-13 anggota DK PBB
(baik permanent atau non-permanent members) lainya setuju untuk disahkannya
resolusi tersebut guna menghindari banyaknya korban serta menghindari
serangkaian pelanggaran terhadap prinsip-prinsip Hukum Internasional.
Kedekatan Amerika dengan Israel memang tidak
terelakkan lagi. The New York Times (23 September 2001), memberitakan bahwa
bantuan yang diberikan untuk Israel adalah sebesar 77 Milyar US$ sejak tahun
1967. Dan itu belum termasuk “sumbangan” teknologi militer yang canggih.[7]
Fakta tersebut memberikan gambaran buruk akibat adanya dua wajah dari Amerika
yaitu sebagai anggota tetap DK PBB dan sebagai TTM Israel. Tidak salah lagi
apabila Israel berani untuk “tidak mematuhi” segala aturan dari resolusi Dewan
karena Amerika berada dibelakangnya. Sehingga muncul ketidakefektifan dan
ketidakadilan resolusi Dewan yang hanya berdasar kepentingan politik semata.
[2]http://pendidikan4sejarah.blogspot.com/2011/06/perang-irak-iran-perang-teluk-1.html
(diunduh tanggal 24 April 2013)
[3]http://elmaghfiroh.blogspot.com/2013/07/saddam-hussein-irak-dan-perang-teluk.html
(diunduh tanggal 25 April 2013)
[6]http://fajar2humanity.blogspot.com/2012/01/konflik-palestina-dan-israel-agama.html
(diunduh tanggal 29 April 2014)
[7]https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20120718074708AAnv0YV
(diunduh tanggal 29 April 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar