1.
Perkembangan
Ekonomi Pada Masa Demokrasi Terpimpin
1)
Ekonomi-Keuangan
Untuk
merencanakan pembangunan ekonomi, pada tahun 1958 dibentuk undang-undang
mengenai pembentukan Dewan Perancang Nasional. Tugasnya adalah:
a) Mempersiapkan
rancangan undang-undang Pembangunan Nasional yang berencana; (pasal 2).
b) Menilai
penyelenggara pembangunan itu (pasal 3).
Selanjutnya pada
tanggal 15 Agustus 1959 terbentuklah Dewan Perancang Nasional
(Depernas) di bawah pimpinan Mr. Muh Yamin sebagai Wakil Menteri Pertama
yang beranggotakan 80 orang wakil golongan masyarakat dan daerah. Dalam waktu
kurang lebih satu tahun, Depernas berhasil menyusun suatu “Rancangan Dasar
Undang-Undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana tahapan tahun 1961-1969.”
MPRS menyetujui rancangan tersebut.
Pada tahun
1963, Dewan Perancang Nasional diganti dengan Badan Perancang
Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Sukarno. Dalam
rangka usaha membendung inflasi maka dikeluarkan kebijakan:
1) Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 1959 yang mulai berlaku tanggal
25 Agustus 1959. Peraturan itu dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang
dalam peredaran untuk kepentingan perbaikan keadaan keuangan dan perekonomian
negara. Untuk mencapai tujuan itu nilai uang kertas pecahan Rp.500,- dan
Rp.1000,- yang ada dalam peredaran pada saat berlakunya peraturan itu
diturunkan masing-masing menjadi Rp.50,- dan Rp.100,-.
2) Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.3 tahun 1959 tentang pembekuan sebagian
dari simpanan pada bank-bank yang dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang
dalam peredaran, yang terutama dalam tahun 1957 dan 1958 sangat meningkat
jumlahnya.
3) Peraturan
moneter tanggal 25 Agustus 1959 diakhiri dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No.6/1959, yang isi pokoknya ialah ketentuan bahwa bagian uang
lembaran seribu rupiah dan lima ratus rupiah yang masih berlaku (dan yang kini
bernilai seratus rupiah dan lima puluh rupiah) harus ditukar dengan uang kertas
bank baru sebelum tanggal 1 Januari 1960. Untuk menampung akibat-akibat dari
tindakan moneter dari bulan Agustus 1959 dibentuklah Panitia Penampung
Operasi Keuangan (P POK). Tugas pokok dari panitia ini ialah menyelenggarakan
tindak lanjut dari tindakan moneter itu.
Akibat utama dari
tindakan moneter yang dilakukan oleh pemerintah ialah terjadinya kesukaran
likuiditas di semua faktor, baik sektor pemerintah maupun sektor swasta.
Keadaan ini merupakan suatu kesempatan yang baik untuk mengadakan penertiban
dari segala kegiatan pemerintah dan swasta yang sebelumnya seolah-olah tidak
terkendalikan. Untuk tujuan itu pemerintah menginstruksikan:
1) Penghematan
bagi instansi pemerintah serta memperketat pengawasan atas pelaksanaan anggaran
belanja.
2) Dilakukan
penertiban manajemen dan administrasi perusahaan-perusahaan negara, baik yang
sudah lama ada, maupun yang baru diambil alih dari pihak Belanda.
Dengan tindakan moneter
tanggal 25 Agustus 1959 itu, pemerintah bertujuanakan dapat mengendalikan inflasi
dan mencapai keseimbangan. Hal itu diusahakan dengan menyalurkan uang dan
kredit baru ke bidang-bidang usaha yang dipandang penting bagi kesejahteraan
rakyat dan pembangunan. Tetapi pada akhir tahun 1959 itu juga, jadi hanya 4
bulan lebih sedikit setelah dilakukan tindakan moneter tersebut, dapat
diketahui bahwa pemerintah mengalami kegagalan. Semua tindakan-tindakan
moneter itu tidak mencapai sasarannya karena pemerintah tidak mempunyai kemauan
politik untuk menahan diri dalam pengeluaran-pengeluarannya. Misalnya saja
menyelenggarakan proyek mercusuar seperti Ganefo (Games of the New
Emerging Forces) dan Conefo (Conference of The New Emerging Forces).
Sejak tahun 1961,
Indonesia terus-menerus membiayai kekurangan neraca pembayarannya dari cadangan
emas dan devisa. Pada akhir tahun 1965, untuk pertama kali dalam sejarah
moneternya, Indonesia sudah habis membelanjakan cadangan emas dan devisanya,
yang memperlihatkan saldo negatif sebesar US $ 3 juta sebagai akibat politik
konfrontasi terus-menerus yang dilakukan. Tingkat kenaikan harga-harga paling
tinggi terjadi dalam tahun 1965 (antara 200%-300% dari harga tahun 1964).
Presiden Sukarno
menganggap perlu untuk mengintegrasikan semua Bank Negara ke dalam suatu
organisasi Bank Sentral. Untuk itu dikeluarkan Penetapan Presiden No.7 tahun
1965 tentang Pendirian Bank Tunggal Milik Negara. Tugas bank tersebut adalah
menjalankan aktivitas-aktivitas bank sirkulasi, bank sentral dan bank umum. Maka
kemudian diadakan peleburan bank-bank negara seperti: Bank Koperasi dan Nelayan
(BKTN); Bank Umum Negara; Bank Tabungan Negara; Bank Negara Indonesia ke dalam
Bank Indonesia. Sesudah pengintegrasian Bank Indonesia itu selesai, barulah
dibentuk Bank Negara Indonesia. Bank Negara Indonesia tersebut dibagi dalam beberapa
unit, masing-masing unit menjalankan pekerjaannya menurut aturan-aturan
pendiriannya. Keadaan itu berlangsung terus sampai Bank Tunggal itu dibubarkan
dengan berlakunya Undang-undang No.13 Tahun 1968.
2)
Perkreditan dan Perdagangan Luar Negeri
Politik luar
negeri pada masa Demokrasi Terpimpin di bidang perkreditan dan perdagangan pada
dasarnya tidak berbeda sifatnya dari sistem ijon dari petani-petani
dan pengusaha-pengusaha kecil, hanya saja kredit luar negeri ini berskala
nasional dan menyangkut hajat hidup seluruh rakyat Indonesia.
Perdagangan luar
negeri antara Indonesia dengan negara lain misalnya dengan negara Cina.
Perdagangan bilateral tersebut dijalin atas dasar Government to Government (G
to G). Dalam perdagangan G to G ini RRC memperoleh keuntungan politik
disamping keuntungan ekonomi yang tidak sedikit. Sebagai contoh perdagangan
karet. Transaksi-transaksi karet rakyat Indonesia dengan RRC pada dasarnya
adalah pembelian bahan baku yang murah oleh RRC, yang kemudian dijual kembali
sebagai barang jadi yang mahal ke Indonesia sebagai yang disebut bantuan luar
negeri. Dalam hubungan ini adakalanya barang-barang yang bercap RRC seperti
tekstil yang dikirim sebagai bantuan ke Indonesia bukan dibuat di RRC sendiri
akan tetapi di Hongkong. Dalam hal ini disebut bantuan pada hakekatnya adalah
hasil keuntungan RRC dari pembelian karet rakyat Indonesia. Maka jelaslah bahwa
kebijaksanaan perdagangan dan perkreditan luar negeri yang dilakukan oleh
pemerintah Orde Lama terutama selama 3 tahun terakhir telah membawa Indonesia
ke dalam lingkungan pengaruh politik RRC. Akibat kebijaksanaan kredit luar
negeri ini adalah:
a) Hutang-hutang
negara semakin bertambah, sedangkan ekspor semakin menurun terus.
b) Devisa
negara menipis karena ekspor sangat rendah.
c) Hutang
luar negeri dibayar dengan kredit baru.
d) RI
tidak mampu lagi membayar tagihan-tagihan dari luar negeri, yang mengakibatkan
adanya kekurangan dana internasional. Karena itu, sering terjadi bahwa beberapa
negara menyetop impornya ke Indonesia karena hutang-hutang tidak dibayar.
e) Di
dalam negeri berakibat mengganggu proses produksi, distribusi dan perdagangan
serta menimbulkan kegelisahan di kalangan penduduk.
2.
Keadaan
Sosial Pada Masa Demokrasi Terpimpin
1)
Pendidikan
Murid-murid
sekolah lanjutan pertama dan tingkat atas pada tahun 1950-an jumlahnya melimpah
dan berharap menjadi mahasiswa. Mereka ini adalah produk pertama dari sistem
pendidikan setelah kemerdekaan. Universitas baru didirikan di ibukota propinsi
dan jumlah fakultas ditambah meskipun kekurangan tenaga pengajar. Perguruan
tinggi swasta semakin banyak terutama tahun 1960. Eksplosi pendidikan tinggi
ini disebabkan meluasnya aspirasi untuk menjadi mahasiswa.
Untuk
memenuhi keinginan golongan islam didirikan Institut Agama Islam Negeri
(IAIN). Sedangkan umat Kristen dan katolik didirikan sekolah Tinggi Theologia
serta seminari-seminari. Sistem penerimaan mahasiswa yang mudah dan pembebasan
biaya kuliah menyebabkan peningkatan jumlah mahasiswa besar-besaran. Penambahan
mahasiswa mencapai seratus ribu dengan perguruan tinggi 181 buah pada tahun
1961.
Sejak
tahun 1962 sistem pendidikan SMP dan SMA mengalami perubahan dalam kurikulum
SMP baru di tambahkan mata pelajaran ilmu administrasi dan kesejahteraan masyarakat.
Sistem pendidikan SMA di lakukan penjurusan mulai kelas II jurusan di bagi
menjadi kelas budaya, sosial, ilmu pasti dan alam. Melihat pembagian di
SMA seperti itu menunjukkan mereka dipersiapkan untuk memasuki peguruan tinggi.
Sekitar
tahun 1960-an dikalangan pendidikan muncul masalah yakni usaha PKI untuk
menguasai organisasi profesi guru “Persatuan Guru Replubik Indonesia” (PGRI).
Hal ini menimbulkan perpecahan dikalangan guru dan PGRI. Perpecahan PGRI
bertepatan dengan dilancarkannya system pendidikan baru. sistem baru itu adalah
Pancasila dan Pancawardhana. Adapun sistem Pancawardhana atau lima pokok:
a) Perkembangan
cinta bangsa dan tanah air, moral nasional atau internasional dan keagamaan.
b) Perkembangan
intelegensi.
c) Perkembangan
nasional-artistik atau rasa keharusan dan keindahan lahir dan batin.
d) Perkembangan
keprigelan ( kerajinan tangan ).
e) Perkembangan
jasmani.
2)
Komunikasi Massa
Surat
kabar dan majalah yang tidak seirama dengan Demokrasi Terpimpin tersingkir. Persyaratan
untuk mendapatkan Surat Ijin Terbit dan Surat Ijin Terbit (SIT) diperketat.
Sejak tahun 1960, semua penerbit wajib mengajukan permohonan SIT dengan dicantumkan
pasal yang mengandung pertanggungjawaban surat kabar/majalah tersebut. Pedoman
resmi untuk penerbitan surat kabar dan majalah diseluruh Indonesia, dikeluarkan
pada tanggal 12 Oktober 1960 yang ditanda tangani oleh Ir. Juanda selaku
Pejabat Presiden.
Sajuti
Melik menyebarluaskan ajaran-ajaran Bung Karno yang murni (belum dipengaruhi
oleh komunisme) dalam tulisan-tulisan yang dimuat dalam surat kabar dengan jdul
tulisan “Belajar Memahami Soekarnoisme”. Isi pokok tulisan Sajuti Melik ialah
“Tidak setuju Nasakom”, melainkan setuju Nasasos. Maksudnya ialah untuk
mengingatkan berbagai pihak akan ajaran-ajaran Bung Karno yang semula. Dengan
demikian diharapakan untuk membendung penyimpangan -penyimpangan oleh PKI
terhadap ajaran-ajaran itu. Pada mulanya tulisan itu di muat oleh Suluh
Indonesia, Koran PNI, dan dari Koran itu di kutip oleh harian dan majalah lain.
Tapi setelah ada protes keras dari PKI, maka dihentikan pemuatannya oleh Suluh Indonesia.
Berdasarkan tulisan sajuti Melik ini, berdirilah Badan Pendukung Soekarnoisme
(BPS).
Pemerintah
Soekarno pada saat itu mendapat tekanan dari golongan komunis untuk menindak
BPS. Pada akhirnya Presiden Soekarno, selaku pemutus terakhir turun tangan.
Keputusan yang di ambil Presiden Soekarno pada bulan februari 1965 ialah:
“melarang semua aktivitas BPS dan mencabut izin terbit Koran-koran penyokong
BPS”. Ini berarti BPS bubar.
Akibat
dilarangnya Koran pendukung BPS banyak karyawan pers yang dengan itikat baik
hendak menyebarkan ajaran Bung Karno menurut tafsiran yang murni dan bukan
tafsiran Komunis., kehilangan nafkahnya.
3)
Kehidupan Budaya
Sesuai
dengan semboyan PKI “politik adalah panglima” maka seluruh kehidupan
masyarakat diusahakan untuk berada di bawah dominasi politiknya. Kampus
diperpolitikkan mahasiswa yang tidak mau ikut dalam rapat umumnya, appel-appel
besarnya dan demonstrasi-demonstrasi revolusionernya di caci maki dan
dirongrong oleh unsur Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) atau
satelit-satelitnya. Wartawan yang ikut BPS dimaki-maki sebagai antek Nekolim
atau agen CIA. Bahkan para budayawan maupun seniman juga tak luput dari raihan
tangan mereka.
Realisme
sosialis sebagai doktrin komunis dibidang seni dan sastra diusahakan untuk
menjadi doktrin di Indonesia juga. Akan tetapi pelaksanaan doktrin tersebut
lebih represif dari pada persuasive seperti adanya larangan bagi
pemusik-pemusik pop untuk memainkan lagu-lagu ala imperialis barat. Peristiwa
yang paling diingat oleh masyarakat pada bidang budaya adalah heboh
mengenai Manifes Kebudayaan dan Konferensi Karyawan Pengarang
Indonesia (KKPI). Sesungguhnya isi dari Manifes Kebudayaan itu
tidaklah baru atau luar biasa. Yang diungkap adalah konsepsi humanisme
universal yang timbul dalam masyarakat liberal yang menekankan kebebasan
individu untuk berkarya secara kreatif. PKI tidak serta merta menyerang manifes
tersebut akan tetapi berselang 4 bulan setelah kemunculannya baru mulai angkat
senjata. Hal ini terjadi karena para sastrawan Pancasilais baik yang mendukung
manifes kebudayaan maupun tidak sedang menyiapkan rencana untuk
menyelenggarakan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI). PKI menganggap
bahwa sebuah manifest saja bukanlah ancaman bagi mereka akan tetapi suatu
pengelompokan yang terorganisasi merupakan bahaya yang harus segera ditumpas
sebelum berkembang lebih besar. Para sastrawan yang sudah menyiapkan KKPI
memiliki perencanaan yang matang. Mereka sudah melakukan pengaman
secukupnya baik berupa konsepsi maupun dukungan dari pejabat-pejabat dan
kekuatan-kekuatan pancasilais. Setelah kemunculan Persatuan Karyawan Pengarang
Indonesia (PKPI) barulah PKI mulai mengadakan kampanye untuk mengidentifikasi
KKPI dan PKPI dengan manifest kebudayaan untuk sama-sama dihancurkan. Serangan
terhadap manifest kebudayaan terus dilancarkan melalui tulisan yang semakin
tajam dalam Harian Rakyat, Bintang Timur dan Zaman Baru. PKI
menganggap manifest kebudayaan sebagai bentuk penyelewengan dari revolusi
Indonesia yang berporos pada soko guru tani, buruh dan prajurit. Di lain sisi
PKI mendukung penuh gagasan manifest politik karena dalam ide-ide tersebut
terdapat penyesuaian gagasan sikap politik budaya dari perjuangan komunisme.
Manifes kebudayaan dianggap mengesampingkan manifest politik karena memisahkan
antara politik dan kebudayaan. Propaganda PKI yang hebat sedikit banyak telah
mempengaruhi massa, serangan-serangan terhadap pendukung manifest kebudayaan
dan KKPI tidak ada hentinya dalam harian, pidato, tokoh-tokoh PKI maupun aksi
politik. Serangan lewat media mass media, aksi turun kejalanberdemonstrasi
dilakukan oleh penyokong PKI. Aksi-aksi tersebut mengundang presiden Soekarno
sehingga pada ulang tahun Departemen Perguruan Tinggi dan ILmu Pengetahuan
(PTIP) yang ke-3 menyampaikan pidato yang mendesak mahasiswa revolusioner dan
molotan untuk menggeser guru-guru besar dan sarjana anti manifest politik.
Pidato Presiden Soekarno tentang Manipol-Usdek yang dimanfaatkan PKI untuk
pentrapan bagi konsumsi rakyat. Dalam pidato ini Presiden soekarno mengecam
adanya kebudayaan barat yang diasosiasikan dengancita-cita imperialisme barat.
Kekuatan Pki setelah tahun 1963sangat besar dan berpengaruh sekali, Bahkan PKI
dapat keluar masuk istana secara mudah. Sehingga Presiden soekarno
mengeeluarkan larangan terhadap manifest kebudayaan karena manifesto politik
republic Indonesia sebagai pancaran pancasiala telah menjadi garis besar haluan
negara tidak mungkin didampingi manifesto lain apalagi kalau manifesto itu
menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap revolusi dan member kesan berdiri
disampingnya. Pernyataan Presiden Soekarno yang menganggap pendukung manifest
kebudayaan bertentangan dengan manipol merupakan suatu tuduhan yang sangat
berbahasa pada saat itu. Pencetus utama manifest kebudayaan H.B Jassin, wiratmo
Sukito dan Trisno sumardjo merasakan ahwa mereka harus membuat suatu pernyataan
berkenaan dengan perintah pelarangan dari Presiden soekarno untuk menjelaskan
posisi manifesto kebudayaan, membersihkan diri mereka dari massa yang
digerakkkan PKI. Oleh sebab itu pada tanggal 11 Mei 1964 ketiga tokoh tersebut
menanggapi larangan Presiden Soekarno. Pernyataan ini dibuat agar angka korban
yang jatuh akibat dukungan kepada manifest kebudayaan tidak meningkat.
Pada
tanggal 27 Agustus-2 September 1964 PKI mengadakan Konferensi Nasional Sastra
dan Seni Revolusioner (KSSR) di Jakarta. KSSR ini dimaksudkan untuk menandingi
KKPI yang diadakan bulan Maret lalu. KSSR mau membuktikan bahwa suasana
kebudayaan berada dibawah kekuasaaan PKI. Dengan demikian berhasilllah PKI
memukul manifest kebudayaan akan tetapi PKPI tidak dapat mereka hancurkan. Benteng
Pancasila tidak dapat ditaklukkan oleh PKI selain itu para sastrawan Indonesia
mendapatkan pelajaran berharga bahwa untuk menghadapi komunisme diperlukan juga
senjata berupa organisasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Karim, Rusli. 1993. Perjalanan Partai Politik Di Indonesia: Sebuah
Potret Pasang-Surut. Jakarta: Rajawali Pers.
Maarif, Ahmad Syafii. 1996. Islam dan Politik: Teori
Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin. (1959—1965). Jakarta: Gema Insani
Press.
Marwati Djoened Poesponegoro dkk. 1993. Sejarah Nasional Indonesia jilid VI. Jakarta:
Depdikbud-Balai Pustaka.
Soegiarso, Soerojo.1988. Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai. Jakarta: PT Rola Sinar
Perkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar