Selasa, November 06, 2018

Perkembangan Ekonomi Pada Masa Demokrasi Terpimpin


1.      Perkembangan Ekonomi Pada Masa Demokrasi Terpimpin
1)      Ekonomi-Keuangan
Untuk merencanakan pembangunan ekonomi, pada tahun 1958 dibentuk undang-undang mengenai pembentukan Dewan Perancang Nasional. Tugasnya adalah:
a)      Mempersiapkan rancangan undang-undang Pembangunan Nasional yang berencana; (pasal 2).
b)      Menilai penyelenggara pembangunan itu (pasal 3).
Selanjutnya pada tanggal 15 Agustus 1959 terbentuklah Dewan Perancang Nasional (Depernas) di bawah pimpinan Mr. Muh Yamin sebagai Wakil Menteri Pertama yang beranggotakan 80 orang wakil golongan masyarakat dan daerah. Dalam waktu kurang lebih satu tahun, Depernas berhasil menyusun suatu “Rancangan Dasar Undang-Undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana tahapan tahun 1961-1969.” MPRS menyetujui rancangan tersebut.
Pada tahun 1963, Dewan Perancang Nasional diganti dengan Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Sukarno. Dalam rangka usaha membendung inflasi maka dikeluarkan kebijakan:
1)      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2 Tahun 1959 yang mulai berlaku tanggal 25 Agustus 1959. Peraturan itu dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran untuk kepentingan perbaikan keadaan keuangan dan perekonomian negara. Untuk mencapai tujuan itu nilai uang kertas pecahan Rp.500,- dan Rp.1000,- yang ada dalam peredaran pada saat berlakunya peraturan itu diturunkan masing-masing menjadi Rp.50,- dan Rp.100,-.
2)      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.3 tahun 1959 tentang pembekuan sebagian dari simpanan pada bank-bank yang dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran, yang terutama dalam tahun 1957 dan 1958 sangat meningkat jumlahnya.
3)      Peraturan moneter tanggal 25 Agustus 1959 diakhiri dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.6/1959, yang isi pokoknya ialah ketentuan bahwa bagian uang lembaran seribu rupiah dan lima ratus rupiah yang masih berlaku (dan yang kini bernilai seratus rupiah dan lima puluh rupiah) harus ditukar dengan uang kertas bank baru sebelum tanggal 1 Januari 1960. Untuk menampung akibat-akibat dari tindakan moneter dari bulan Agustus 1959 dibentuklah Panitia Penampung Operasi Keuangan (P POK). Tugas pokok dari panitia ini ialah menyelenggarakan tindak lanjut dari tindakan moneter itu.
Akibat utama dari tindakan moneter yang dilakukan oleh pemerintah ialah terjadinya kesukaran likuiditas di semua faktor, baik sektor pemerintah maupun sektor swasta. Keadaan ini merupakan suatu kesempatan yang baik untuk mengadakan penertiban dari segala kegiatan pemerintah dan swasta yang sebelumnya seolah-olah tidak terkendalikan. Untuk tujuan itu pemerintah menginstruksikan:
1)      Penghematan bagi instansi pemerintah serta memperketat pengawasan atas pelaksanaan anggaran belanja.
2)      Dilakukan penertiban manajemen dan administrasi perusahaan-perusahaan negara, baik yang sudah lama ada, maupun yang baru diambil alih dari pihak Belanda.
Dengan tindakan moneter tanggal 25 Agustus 1959 itu, pemerintah bertujuanakan dapat mengendalikan inflasi dan mencapai keseimbangan. Hal itu diusahakan dengan menyalurkan uang dan kredit baru ke bidang-bidang usaha yang dipandang penting bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan. Tetapi pada akhir tahun 1959 itu juga, jadi hanya 4 bulan lebih sedikit setelah dilakukan tindakan moneter tersebut, dapat diketahui bahwa pemerintah mengalami kegagalan. Semua tindakan-tindakan moneter itu tidak mencapai sasarannya karena pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam pengeluaran-pengeluarannya. Misalnya saja menyelenggarakan proyek mercusuar seperti Ganefo (Games of the New Emerging Forces) dan Conefo (Conference of The New Emerging Forces).
Sejak tahun 1961, Indonesia terus-menerus membiayai kekurangan neraca pembayarannya dari cadangan emas dan devisa. Pada akhir tahun 1965, untuk pertama kali dalam sejarah moneternya, Indonesia sudah habis membelanjakan cadangan emas dan devisanya, yang memperlihatkan saldo negatif sebesar US $ 3 juta sebagai akibat politik konfrontasi terus-menerus yang dilakukan. Tingkat kenaikan harga-harga paling tinggi terjadi dalam tahun 1965 (antara 200%-300% dari harga tahun 1964).
Presiden Sukarno menganggap perlu untuk mengintegrasikan semua Bank Negara ke dalam suatu organisasi Bank Sentral. Untuk itu dikeluarkan Penetapan Presiden No.7 tahun 1965 tentang Pendirian Bank Tunggal Milik Negara. Tugas bank tersebut adalah menjalankan aktivitas-aktivitas bank sirkulasi, bank sentral dan bank umum. Maka kemudian diadakan peleburan bank-bank negara seperti: Bank Koperasi dan Nelayan (BKTN); Bank Umum Negara; Bank Tabungan Negara; Bank Negara Indonesia ke dalam Bank Indonesia. Sesudah pengintegrasian Bank Indonesia itu selesai, barulah dibentuk Bank Negara Indonesia. Bank Negara Indonesia tersebut dibagi dalam beberapa unit, masing-masing unit menjalankan pekerjaannya menurut aturan-aturan pendiriannya. Keadaan itu berlangsung terus sampai Bank Tunggal itu dibubarkan dengan berlakunya Undang-undang No.13 Tahun 1968.

2)        Perkreditan dan Perdagangan Luar Negeri
Politik luar negeri pada masa Demokrasi Terpimpin di bidang perkreditan dan perdagangan pada dasarnya tidak berbeda sifatnya dari sistem ijon dari petani-petani dan pengusaha-pengusaha kecil, hanya saja kredit luar negeri ini berskala nasional dan menyangkut hajat hidup seluruh rakyat Indonesia.
Perdagangan luar negeri antara Indonesia dengan negara lain misalnya dengan negara Cina. Perdagangan bilateral tersebut dijalin atas dasar Government to Government (G to G). Dalam perdagangan G to G ini RRC memperoleh keuntungan politik disamping keuntungan ekonomi yang tidak sedikit. Sebagai contoh perdagangan karet. Transaksi-transaksi karet rakyat Indonesia dengan RRC pada dasarnya adalah pembelian bahan baku yang murah oleh RRC, yang kemudian dijual kembali sebagai barang jadi yang mahal ke Indonesia sebagai yang disebut bantuan luar negeri. Dalam hubungan ini adakalanya barang-barang yang bercap RRC seperti tekstil yang dikirim sebagai bantuan ke Indonesia bukan dibuat di RRC sendiri akan tetapi di Hongkong. Dalam hal ini disebut bantuan pada hakekatnya adalah hasil keuntungan RRC dari pembelian karet rakyat Indonesia. Maka jelaslah bahwa kebijaksanaan perdagangan dan perkreditan luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah Orde Lama terutama selama 3 tahun terakhir telah membawa Indonesia ke dalam lingkungan pengaruh politik RRC. Akibat kebijaksanaan kredit luar negeri ini adalah:
a)      Hutang-hutang negara semakin bertambah, sedangkan ekspor semakin menurun terus.
b)      Devisa negara menipis karena ekspor sangat rendah.
c)      Hutang luar negeri dibayar dengan kredit baru.
d)     RI tidak mampu lagi membayar tagihan-tagihan dari luar negeri, yang mengakibatkan adanya kekurangan dana internasional. Karena itu, sering terjadi bahwa beberapa negara menyetop impornya ke Indonesia karena hutang-hutang tidak dibayar.
e)      Di dalam negeri berakibat mengganggu proses produksi, distribusi dan perdagangan serta menimbulkan kegelisahan di kalangan penduduk.

2.      Keadaan Sosial Pada Masa Demokrasi Terpimpin
1)      Pendidikan
Murid-murid sekolah lanjutan pertama dan tingkat atas pada tahun 1950-an jumlahnya melimpah dan berharap menjadi mahasiswa. Mereka ini adalah produk pertama dari sistem pendidikan setelah kemerdekaan. Universitas baru didirikan di ibukota propinsi dan jumlah fakultas ditambah meskipun kekurangan tenaga pengajar. Perguruan tinggi swasta semakin banyak terutama tahun 1960. Eksplosi pendidikan tinggi ini disebabkan meluasnya aspirasi untuk menjadi mahasiswa.
Untuk memenuhi keinginan golongan islam didirikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Sedangkan umat Kristen dan katolik didirikan sekolah Tinggi Theologia serta seminari-seminari. Sistem penerimaan mahasiswa yang mudah dan pembebasan biaya kuliah menyebabkan peningkatan jumlah mahasiswa besar-besaran. Penambahan mahasiswa mencapai seratus ribu dengan perguruan tinggi 181 buah pada tahun 1961.
Sejak tahun 1962 sistem pendidikan SMP dan SMA mengalami perubahan dalam kurikulum SMP baru di tambahkan mata pelajaran ilmu administrasi dan kesejahteraan masyarakat. Sistem pendidikan SMA di lakukan penjurusan mulai kelas II jurusan di bagi menjadi kelas budaya, sosial, ilmu pasti dan alam.  Melihat pembagian di SMA seperti itu menunjukkan mereka dipersiapkan untuk memasuki peguruan tinggi.
Sekitar tahun 1960-an dikalangan pendidikan muncul masalah yakni usaha PKI untuk menguasai organisasi profesi guru “Persatuan Guru Replubik Indonesia” (PGRI). Hal ini menimbulkan perpecahan dikalangan guru dan PGRI.  Perpecahan PGRI bertepatan dengan dilancarkannya system pendidikan baru. sistem baru itu adalah Pancasila dan Pancawardhana. Adapun sistem Pancawardhana atau lima pokok:
a)      Perkembangan cinta bangsa dan tanah air, moral nasional atau internasional dan keagamaan.
b)      Perkembangan intelegensi.
c)      Perkembangan nasional-artistik atau rasa keharusan dan keindahan lahir dan batin.
d)     Perkembangan keprigelan ( kerajinan tangan ).
e)      Perkembangan jasmani.

2)      Komunikasi Massa
Surat kabar dan majalah yang tidak seirama dengan Demokrasi Terpimpin tersingkir. Persyaratan untuk mendapatkan Surat Ijin Terbit dan Surat Ijin Terbit (SIT) diperketat. Sejak tahun 1960, semua penerbit wajib mengajukan permohonan SIT dengan dicantumkan pasal yang mengandung pertanggungjawaban surat kabar/majalah tersebut. Pedoman resmi untuk penerbitan surat kabar dan majalah diseluruh Indonesia, dikeluarkan pada tanggal 12 Oktober 1960 yang ditanda tangani oleh Ir. Juanda selaku Pejabat Presiden.
Sajuti Melik menyebarluaskan ajaran-ajaran Bung Karno yang murni (belum dipengaruhi oleh komunisme) dalam tulisan-tulisan yang dimuat dalam surat kabar dengan jdul tulisan “Belajar Memahami Soekarnoisme”. Isi pokok tulisan Sajuti Melik ialah “Tidak setuju Nasakom”, melainkan setuju Nasasos. Maksudnya ialah untuk mengingatkan berbagai pihak akan ajaran-ajaran Bung Karno yang semula. Dengan demikian diharapakan untuk membendung penyimpangan -penyimpangan oleh PKI terhadap ajaran-ajaran itu. Pada mulanya tulisan itu di muat oleh Suluh Indonesia, Koran PNI, dan dari Koran itu di kutip oleh harian dan majalah lain. Tapi setelah ada protes keras dari PKI, maka dihentikan pemuatannya oleh Suluh Indonesia. Berdasarkan tulisan sajuti Melik ini, berdirilah Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS).
Pemerintah Soekarno pada saat itu mendapat tekanan dari golongan komunis untuk menindak BPS. Pada akhirnya Presiden Soekarno, selaku pemutus terakhir turun tangan. Keputusan yang di ambil Presiden Soekarno pada bulan februari 1965 ialah: “melarang semua aktivitas BPS dan mencabut izin terbit Koran-koran penyokong BPS”. Ini berarti BPS bubar.
Akibat dilarangnya Koran pendukung BPS banyak karyawan pers yang dengan itikat baik hendak menyebarkan ajaran Bung Karno menurut tafsiran yang murni dan bukan tafsiran Komunis., kehilangan nafkahnya.

3)      Kehidupan Budaya
Sesuai dengan semboyan PKI “politik adalah panglima”  maka seluruh kehidupan masyarakat diusahakan untuk berada di bawah dominasi politiknya. Kampus diperpolitikkan mahasiswa yang tidak mau ikut dalam rapat umumnya, appel-appel besarnya dan demonstrasi-demonstrasi revolusionernya di caci maki dan dirongrong oleh unsur Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) atau satelit-satelitnya. Wartawan yang ikut BPS dimaki-maki sebagai antek Nekolim atau agen CIA. Bahkan para budayawan maupun seniman juga tak luput dari raihan tangan mereka.
Realisme sosialis sebagai doktrin komunis dibidang seni dan sastra diusahakan untuk menjadi doktrin di Indonesia juga. Akan tetapi pelaksanaan doktrin tersebut lebih represif dari pada persuasive seperti adanya larangan bagi pemusik-pemusik pop untuk memainkan lagu-lagu ala imperialis barat. Peristiwa yang paling diingat oleh masyarakat pada bidang budaya adalah heboh mengenai Manifes Kebudayaan dan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI).  Sesungguhnya isi dari Manifes Kebudayaan itu tidaklah baru atau luar biasa. Yang diungkap adalah konsepsi humanisme universal yang timbul dalam masyarakat liberal yang menekankan kebebasan individu untuk berkarya secara kreatif. PKI tidak serta merta menyerang manifes tersebut akan tetapi berselang 4 bulan setelah kemunculannya baru mulai angkat senjata. Hal ini terjadi karena para sastrawan Pancasilais baik yang mendukung manifes kebudayaan maupun tidak sedang menyiapkan rencana untuk menyelenggarakan Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia (KKPI). PKI menganggap bahwa sebuah manifest saja bukanlah ancaman bagi mereka akan tetapi suatu pengelompokan yang terorganisasi merupakan bahaya yang harus segera ditumpas sebelum berkembang lebih besar. Para sastrawan yang sudah menyiapkan KKPI memiliki perencanaan yang matang. Mereka sudah  melakukan pengaman secukupnya baik berupa konsepsi maupun dukungan dari pejabat-pejabat dan kekuatan-kekuatan pancasilais. Setelah kemunculan Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI) barulah PKI mulai mengadakan kampanye untuk mengidentifikasi KKPI dan PKPI dengan manifest kebudayaan untuk sama-sama dihancurkan. Serangan terhadap manifest kebudayaan terus dilancarkan melalui tulisan yang semakin tajam dalam Harian Rakyat, Bintang Timur dan Zaman Baru. PKI menganggap manifest kebudayaan sebagai bentuk penyelewengan dari revolusi Indonesia yang berporos pada soko guru tani, buruh dan prajurit. Di lain sisi PKI mendukung penuh gagasan manifest politik karena dalam ide-ide tersebut terdapat penyesuaian gagasan sikap politik budaya dari perjuangan komunisme. Manifes kebudayaan dianggap mengesampingkan manifest politik karena memisahkan antara politik dan kebudayaan. Propaganda PKI yang hebat sedikit banyak telah mempengaruhi massa, serangan-serangan terhadap pendukung manifest kebudayaan dan KKPI tidak ada hentinya dalam harian, pidato, tokoh-tokoh PKI maupun aksi politik. Serangan lewat media mass media, aksi turun kejalanberdemonstrasi dilakukan oleh penyokong PKI. Aksi-aksi tersebut mengundang presiden Soekarno sehingga pada ulang tahun Departemen Perguruan Tinggi dan ILmu Pengetahuan (PTIP) yang ke-3 menyampaikan pidato yang mendesak mahasiswa revolusioner dan molotan untuk menggeser guru-guru besar dan sarjana anti manifest politik. Pidato Presiden Soekarno tentang Manipol-Usdek yang dimanfaatkan PKI untuk pentrapan bagi konsumsi rakyat. Dalam pidato ini Presiden soekarno mengecam adanya kebudayaan barat yang diasosiasikan dengancita-cita imperialisme barat. Kekuatan Pki setelah tahun 1963sangat besar dan berpengaruh sekali, Bahkan PKI dapat keluar masuk istana secara mudah. Sehingga Presiden soekarno mengeeluarkan larangan terhadap manifest kebudayaan karena manifesto politik republic Indonesia sebagai pancaran pancasiala telah menjadi garis besar haluan negara tidak mungkin didampingi manifesto lain apalagi kalau manifesto itu menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap revolusi dan member kesan berdiri disampingnya. Pernyataan Presiden Soekarno yang menganggap pendukung manifest kebudayaan bertentangan dengan manipol merupakan suatu tuduhan yang sangat berbahasa pada saat itu. Pencetus utama manifest kebudayaan H.B Jassin, wiratmo Sukito dan Trisno sumardjo merasakan ahwa mereka harus membuat suatu pernyataan berkenaan dengan perintah pelarangan dari Presiden soekarno untuk menjelaskan posisi manifesto kebudayaan, membersihkan diri mereka dari massa yang digerakkkan PKI. Oleh sebab itu pada tanggal 11 Mei 1964 ketiga tokoh tersebut menanggapi larangan Presiden Soekarno. Pernyataan ini dibuat agar angka korban yang jatuh akibat dukungan kepada manifest kebudayaan tidak meningkat.
Pada tanggal 27 Agustus-2 September 1964 PKI mengadakan Konferensi Nasional Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) di Jakarta. KSSR ini dimaksudkan untuk menandingi KKPI yang diadakan bulan Maret lalu. KSSR mau membuktikan bahwa suasana kebudayaan berada dibawah kekuasaaan PKI. Dengan demikian berhasilllah PKI memukul manifest kebudayaan akan tetapi PKPI tidak dapat mereka hancurkan. Benteng Pancasila tidak dapat ditaklukkan oleh PKI selain itu para sastrawan Indonesia mendapatkan pelajaran berharga bahwa untuk menghadapi komunisme diperlukan juga senjata berupa organisasi.



DAFTAR PUSTAKA


Karim, Rusli. 1993. Perjalanan Partai Politik Di Indonesia: Sebuah Potret Pasang-Surut. Jakarta: Rajawali Pers.
Maarif, Ahmad Syafii. 1996. Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin. (1959—1965). Jakarta: Gema Insani Press.
Marwati Djoened Poesponegoro dkk. 1993. Sejarah Nasional Indonesia jilid VI. Jakarta: Depdikbud-Balai Pustaka.
Soegiarso, Soerojo.1988. Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai. Jakarta: PT Rola Sinar Perkasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nasionalisme Arab